Di balik pepohonan hutan Lampung Timur, gajah-gajah Sumatera berjalan pelan, seolah menyimpan cerita panjang tentang luka dan harapan. Taman Nasional Way Kambas (TNWK) menjadi rumah terakhir bagi ratusan gajah, sekaligus saksi bisu bagaimana manusia dan alam berjuang menemukan harmoni.
Namun, rumah itu tidak lagi seaman dulu. Perburuan gading, penyempitan habitat karena pembukaan lahan, serta konflik manusia-satwa membuat populasi gajah terus menurun.
Meski sering dijuluki “Benteng Terakhir Gajah Sumatra”, populasi gajah di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) terus menghadapi tekanan besar. Data terbaru Balai TNWK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, populasi gajah liar di kawasan ini hanya tersisa sekitar 160–180 ekor. Jumlah ini jauh berkurang jika dibandingkan dengan beberapa dekade lalu, saat hutan Way Kambas masih menjadi rumah luas bagi ratusan gajah.
Data dan Fakta
Di luar itu, terdapat pula sekitar 62-64 gajah jinak yang berada di bawah pengelolaan Pusat Latihan Gajah (PLG) dan beberapa Elephant Response Unit (ERU). Gajah-gajah ini dilibatkan dalam berbagai upaya konservasi, termasuk pengembangbiakan (breeding), mitigasi konflik dengan manusia, hingga pendidikan konservasi bagi masyarakat.
Beberapa kabar gembira memang datang, misalnya dengan kelahiran bayi gajah di PLG pada Februari 2024, dan lagi pada Agustus 2025 dari induk bernama Dita. Kelahiran ini memberi secercah harapan bahwa populasi gajah Sumatra di Way Kambas masih bisa bertahan. Namun, di sisi lain, ancaman serius tetap mengintai: hilangnya habitat akibat pembukaan lahan, perburuan liar, serta konflik manusia-gajah yang kerap berujung tragis.
Upaya survei terbaru, termasuk dengan metode fecal DNA, sedang dilakukan untuk memperbarui data populasi. Cara ini diharapkan mampu memberikan gambaran lebih akurat tentang jumlah dan sebaran gajah di Way Kambas, mengingat medan yang sulit membuat penghitungan manual rawan bias.
Dengan kondisi ini, dapat disimpulkan bahwa total populasi gajah Sumatra di TNWK, baik liar maupun jinak hanya berkisar 220-250 ekor. Angka ini menegaskan betapa rentannya masa depan satwa karismatik ini, dan mengapa Way Kambas harus benar-benar dijaga sebagai benteng terakhir mereka.
Setiap konflik berarti korban. Ada gajah yang jatuh akibat jerat, ada pula warga desa yang kehilangan ladang karena amukan kawanan. Hubungan antara manusia dan gajah di Way Kambas ibarat dua sisi mata uang: bisa menjadi kisah kebersamaan, bisa pula menjadi tragedi.
Meski begitu, bukan berarti harapan pupus. Sejumlah langkah konservasi dilakukan, mulai dari Pusat Latihan Gajah yang melatih gajah untuk mendukung patroli hutan, hingga program “community-based conservation” yang melibatkan masyarakat sekitar. Teknologi juga dimanfaatkan, misalnya melalui sistem peringatan dini konflik gajah berbasis SMS dan sensor suara.