Artinya, kita tidak bisa membayar pajak sebelum menyelesaikan tilang. Setelah denda dibayar, status STNK akan diperbarui secara otomatis, dan barulah pajak kendaraan bisa dibayar.
E-Tilang Konsisten atau Random?
Saat pertama kali menerima informasi tilang, saya sempat emosi dan merasa tidak adil. Mengapa saya yang melaju 106,2 km/jam kena tilang, padahal banyak yang lebih cepat? Apakah ini random?
Setelah saya pelajari, ternyata ETLE konsisten, tetapi terbatas pada area jangkauan kamera dan hasilnya adalah:
- Tidak semua ruas tol dilengkapi kamera ETLE.
- Kamera hanya memantau jalur tertentu. Jika kebetulan kita melaju di jalur yang diawasi, kita akan tertangkap.
- Proses notifikasi bertahap. Pelanggar lain mungkin belum menerima surat tilang karena antrean verifikasi data.
- Keterbatasan teknis kamera. Kendaraan yang terhalang mobil besar di depannya mungkin tidak terdeteksi.
Kesimpulannya: ETLE bukan acak. Siapa yang tertangkap kamera, itulah yang akan ditindak.
Dasar Hukum dan Sanksi
Didasari rasa penasaran, akhirnya saya pun ngulik tentang ETLE ini. Sebelum ada kejadian ini, informasi yang saya terima hanya desas-desus, jadi saya mengabaikan. Ternyata, berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 272, hasil rekaman ETLE sah menjadi alat bukti. Sedangkan untuk pelanggaran kecepatan diatur dalam Pasal 287 ayat (5):
- Denda maksimal Rp500.000, atau
- Kurungan paling lama 2 bulan.
Selain itu, PP No. 79 Tahun 2013 dan Permenhub No. 111 Tahun 2015 menegaskan batas kecepatan di tol: minimal 60 km/jam dan maksimal 100 km/jam.
Mulai 2025, kebijakan pemblokiran STNK untuk pelanggaran ETLE berlaku nasional. Sistem ini mengintegrasikan tilang elektronik dengan database Samsat, sehingga pembayaran pajak tidak akan bisa dilakukan sebelum denda diselesaikan.
Data Nasional Tentang ETLE