Bukan Melarang, Tapi Menyadarkan: Narasi Solusi Krisis Literasi
“Sudah jam segini, kamu masih main HP lagi?! Kapan belajarnya?” Suara ibu meninggi, terselip nada kecewa, bukan karena benci- tapi cemas yang menggunung.
Anak laki-laki itu, di usia sepuluh atau sebelas, menunduk. Gawai masih di tangannya, layar belum sempat terkunci sempurna. “Aku... cuma lihat video belajar, Bu,” jawabnya pelan, meski sang ibu tahu, dari ekspresi dan tatapannya, itu bukan sepenuhnya benar.
“Kamu tadi nonton game. Terus scroll-scroll nggak jelas. Mama lihat dari tadi!”
Si Anak diam. Jemarinya gemetar. Tak tahu harus berkata apa. Di dadanya, ada rasa bingung yang belum sempat ia mengerti. Ia hanya merasa disalahkan lagi.
Lalu, nyaris seperti bisikan, ia berkata: “Bu... saya mesti gimana? Saya enggak tahu. Jangan larang saya terus... ajari saya...”
Seketika, ruang itu hening. Ibu menatap anaknya, lalu duduk di sampingnya. Perlahan, ia tarik HP dari tangan anaknya, bukan dengan marah- tapi dengan lembut, penuh pengertian. Ia tahu, mungkin bukan salah anak sepenuhnya. Mungkin dunia memang berubah lebih cepat dari yang orang tua sempat siapkan.
Karena anak-anak hari ini tidak butuh lebih banyak larangan- mereka butuh panduan. Tidak cukup hanya dimarahi- mereka harus didekati. Tidak hanya dipaksa membaca- mereka perlu diajak mencintai membaca. Dan itu perlu keteladanan dari keluarga.
Anak Lebih Akrab dengan Tontonan daripada Buku: Wajah Baru Krisis Literasi Indonesia
Realitas pahit ini adalah potret yang akrab di banyak keluarga. Setiap pagi, anak-anak kita membuka mata, dan yang pertama mereka raih bukan buku- melainkan gawai. Mereka tahu siapa content creator viral di YouTube atau TikTok, tapi mungkin bingung menjelaskan isi buku pelajaran kelas empat. Mereka bisa menghafal lagu tren YouTube Shorts, tapi tertatih membaca paragraf sederhana.