Anak tetap boleh memegang HP- tapi isinya cerita, bukan sekadar konten pendek tanpa makna. Di era ini, yang penting bukan menjauhkan anak dari teknologi, tapi mengarahkan mereka menggunakannya untuk tumbuh. Kita alihkan dari “scrolling” ke “storytelling”.
2. Menyediakan Waktu Tanpa Layar, Demi Ruang Bercerita
Ada waktu-waktu yang seharusnya sakral: sebelum tidur, saat makan malam, atau pagi sebelum sekolah. Kita bisa menciptakan zona bebas gawai- sejenak untuk kembali jadi manusia yang membaca, bukan sekadar pengguna layar. Di sekolah pun bisa dimulai kebiasaan kecil: 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai.
Seolah berkata, “Sebelum kita belajar hal-hal baru, mari kita temui dunia lewat halaman pertama.” Kita bisa mengisi waktu tersebut dengan sesi membaca bersama, entah itu membaca nyaring, membaca bergantian, atau sekadar membaca dalam diam dengan kehadiran orang dewasa.
3. Membaca Tak Harus Diam, Bisa Jadi Konten dan Cerita
Siapa bilang membaca harus selalu duduk diam? Justru membaca bisa dijadikan petualangan kreatif yang relevan dengan dunia digital anak. Ajak anak membuat video ulasan buku, menggambar adegan dari cerita favorit, atau memainkan drama kecil dari dongeng yang mereka baca. Ini bisa jadi tugas proyek sekolah atau kegiatan akhir pekan keluarga yang menyenangkan.
Di sinilah dunia buku bertemu dunia digital. Dan anak-anak pun menyadari: “ternyata membaca bisa jadi keren juga.” Membaca menjadi bagian dari konten yang bisa mereka ciptakan dan bagikan.
4. Anak Tidak Butuh Ceramah, Tapi Butuh Contoh
Anak-anak tidak membaca karena disuruh. Mereka membaca karena mereka melihat dan terbiasa. Melihat ayahnya membuka buku di ruang tamu, melihat ibunya tertawa pelan sambil membaca cerita, atau melihat gurunya duduk tenang membaca di sela waktu.
Membaca bukan sekadar aktivitas yang diperintahkan, tapi kebiasaan yang ditiru. Kita bisa membangun kebiasaan membaca sejak dini dengan teladan, bukan ceramah.
5. Literasi Bukan Cuma Tugas Sekolah, Tapi Budaya Keluarga dan Masyarakat