Kisah Rika dan Yalen mungkin menjadi pengecualian. Tapi justru karena itulah, kita perlu membuka mata: bahwa pendidikan hari ini tidak bisa lagi disamaratakan. Setiap anak unik. Setiap proses belajar memiliki dinamika tersendiri. Maka, tugas kita sebagai orang tua adalah menciptakan ruang yang adaptif-antara kebebasan belajar dan pendampingan penuh kasih. Bukan melarang, namun menyadarkan.
Budaya Visual dan Instan, Musuh Senyap Literasi
Banyak anak sekarang tumbuh dalam dunia visual yang serba cepat. TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts menawarkan hiburan dalam hitungan detik, tidak terbatas jumlahnya. Otak mereka dibentuk untuk menyerap informasi singkat, lucu, cepat berganti. Entah tontonan itu hitam atau putih, benar  atau salah. Buku? Hmmm.. sepertinya sudah mulai jarang ada yang menyentuh. Tidak menarik, terlalu pelan, terlalu panjang, dan terlalu "membosankan."Â
Fenomena ini menciptakan efek domino:
- Rentang atensi yang semakin pendek.
- Minat baca yang menurun drastis.
- Kegagalan memahami bacaan panjang.
- Kebiasaan membaca yang hanya berhenti pada ejaan, bukan pemahaman.
Data berbicara lebih lantang dari kekhawatiran kita. Hasil PISA 2022 menunjukkan 75% siswa usia 15 tahun di Indonesia tidak memahami isi bacaan. Skor literasi membaca Indonesia adalah 359, terendah sejak tahun 2000. Sementara itu, rata-rata waktu anak memakai gawai mencapai 4–6 jam per hari, berbanding terbalik dengan waktu membaca yang hanya 20-30 menit. Kita juga masih mendengar banyak kasus siswa SMP di daerah yang belum bisa membaca lancar. Sungguh miris bukan, anak tidak membaca di negeri literasi.
Mengapa ini terjadi? Seringkali karena kita, sebagai orang dewasa, keliru menempatkan teknologi. Gawai dianggap solusi serba bisa-menjadi obat ketika anak sedang menangis, memberikan hiburan, memberikan pembelajaran, bahkan pengasuhan. Namun, saat anak terlalu dini dikenalkan pada dunia digital tanpa pendampingan yang tepat, mereka tenggelam dalam kebisingan visual dan kehilangan kesempatan fundamental untuk membangun imajinasi dan kedalaman pemahaman lewat bacaan.
Langkah Solutif: Bukan Melarang, Tapi Menyadarkan
Di tengah gempuran teknologi dan informasi tanpa batas seperti saat ini, kita tidak bisa melarikan diri. Namun, kita menghadapi tantangan yang tak kasat mata tapi begitu nyata: anak-anak kita kehilangan makna dalam membaca. Bukan karena mereka tidak bisa mengeja, tapi karena tak mampu memahami.Â
Solusinya bukan dengan menyalahkan, apalagi melarang. Semakin di larang, ia semakin menentang. Saat ini, yang dibutuhkan adalah kesadaran kolektif- bahwa membangun literasi adalah tanggung jawab bersama, dari rumah, sekolah, hingga masyarakat. Berikut beberapa solusi yang mungkin bisa teman-teman pikirkan.
1. Gawai: Bukan Musuh, Tapi Jembatan Menuju Literat.Â
Di rumah-rumah kita, gawai sering menjadi "pengasuh digital" yang pasif. Tapi bagaimana jika kita alihkan fungsinya? Bukan untuk scrolling tanpa arah, melainkan sebagai jembatan menuju dunia cerita. Aplikasi seperti Let’s Read atau Storyweaver, serta e-book anak, bisa menjadi pintu masuk.Â