Ini bukan sekadar fenomena permukaan, dan terjadi tidak hanya dalam satu keluarga saja. Ini adalah gejala dalam-dalam krisis: anak lebih akrab dengan layar daripada lembaran, lebih nyaman menonton daripada membaca.
Ini menjadi paradoks menarik dari kisah keluarga teman saya. Anak pertamanya berhasil mendapatkan beasiswa penuh setelah masuk kelas paralel dengan peringkat terbaik di SMA nya. Anak keduanya pun tak kalah membanggakan- diterima melalui jalur prestasi SPMB SMP setelah menyisihkan ratusan pesaing. Kebetulan, mereka adalah anak didik kami juga.
Suatu hari, saya bertanya bukan karena ingin ikut campur, tapi lebih karena ingin mengintip “resep” mereka dalam mendidik anak. Dengan penasaran saya bertanya, “Pak De, si Rika dan Yalen sering main handphone gak?”
Istrinya langsung menyela sambil tersenyum, “Iya, main handphone terus. Kadang sampai bikin pusing. Susah disuruh berhenti.”
Istri saya ikut penasaran, lalu bertanya, “Lalu kapan mereka belajarnya, Bu De? Sering baca buku ya, kok bisa pinter-pinter begitu?”
Pak De menjawab santai, “Entahlah, rasanya jarang mereka pegang buku.”
Kami pun saling berpandangan, mencoba mencerna jawaban itu. Seolah tidak masuk akal: mereka jarang terlihat belajar atau membaca buku, tapi prestasi akademik mereka luar biasa. Awalnya kami sempat menyimpulkan bahwa mungkin mereka memang sudah “cerdas sejak lahir”. Namun, hipotesis itu terasa prematur karena belum penelitian lebih lanjut.
Bisa jadi, mereka tidak sekadar bermain game saat menggunakan handphone. Mungkin justru mereka sedang belajar melalui media daring - melalui video edukatif, kuis interaktif, atau platform pembelajaran digital yang tidak terlihat seperti “belajar” dalam pengertian konvensional.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa cara anak belajar hari ini bisa sangat berbeda dari yang kita alami dulu. Belajar bukan lagi selalu soal duduk manis dengan buku di tangan. Bisa jadi, mereka justru sedang menyerap ilmu sambil bersantai dengan gadget di tangan-dan itulah keunikan generasi sekarang.
Akan tetapi, kami pun menyadari bahwa ini bisa saja hanya kasus khusus. Tidak semua anak mampu menavigasi lautan informasi digital dengan kesadaran penuh. Tidak semua anak bisa memilah mana konten yang mendidik dan mana yang menyesatkan. Tidak semua anak memiliki kedewasaan untuk belajar secara mandiri tanpa pengawasan. Di sinilah tantangannya.
Kemajuan teknologi memberi peluang besar untuk belajar dari mana saja. Namun, tanpa pendampingan dan arahan yang tepat, anak-anak bisa tersesat dalam derasnya arus digital. Orang tua dan guru tetap memegang peranan penting, bukan sebagai pengontrol, tetapi sebagai penuntun- agar anak tidak hanya melek teknologi, tapi juga cerdas memilih dan bijak menggunakan.