Contoh nyata Perfeksionisme diam yang mungkin kamu kenali:
- Seorang siswa yang enggan bertanya untuk bertanya karena takut terlihat bodoh.
- Karyawan yang menghabiskan waktu berhari-hari memperbaiki presentasi- bukan untuk akurasi, tapi demi tidak “dijatuhkan”.
- Penulis yang punya lusinan draft tapi tak pernah mengunggah satu pun karena merasa belum cukup layak.
- Seorang pemimpin yang tahu ia salah, tapi memilih diam dan tidak meminta maaf agar terlihat “kuat”.
Sungguh ngeri, perfeksionisme membungkam dengan halus. Ia membunuh ekspresi, menghilangkan spontanitas, dan menghapus ruang belajar dari kegagalan.
Perfeksionisme Bukan Tentang Standar Tinggi, Tapi Rasa Takut
Mari kita luruskan satu kesalahan umum soal perfeksionisme yaitu menyamakannya dengan semangat berkualitas tinggi. Padahal, sesungguhnya: Perfeksionisme bukan soal standar - tapi soal kecemasan.
Perfeksionisme sering disalahpahami sebagai semangat untuk berkualitas. Padahal:“Perfeksionisme bukan dorongan untuk jadi terbaik, tapi rasa takut kronis untuk terlihat gagal.” - Curran & Hill, 2019.
Psikolog Dian Sartika Dewi, dalam artikel yang ditulis oleh Ida Setianingsih (Kompas.com, 2025) juga menegaskan bahwa "Perfeksionisme bisa menggerus kepercayaan diri dan menjadi pintu masuk gangguan kecemasan bila tidak dikendalikan."
Perfeksionisme lahir dari:
- Ketakutan akan penilaian sosial
- Luka masa kecil yang terbiasa dipuji hanya saat "sempurna"
- Lingkungan yang menyamakan kesalahan dengan kegagalan pribadi
Artinya, orang perfeksionis sering merasa bahwa jika hasilnya tidak sempurna, maka dirinyalah yang gagal. Padahal, kesalahan adalah bagian dari pertumbuhan. Ini seperti majas: "Tidak ada bayi yang bisa langsung berlari".
Dampaknya: Masyarakat yang Diam karena Takut Gagal dan Ingin Terlihat Sempurna
Perfeksionisme bukan cuma masalah pribadi. Ia adalah fenomena sosial yang sistemik. Perfeksionisme membuat individu dan komunitas terjebak dalam zona aman:
- Di sekolah, siswa tumbuh menjadi pencari aman, bukan pencari kebenaran alias menjadi siswa pasif dan tidak kritis.
- Di kampus, mahasiswa enggan mengambil risiko ide baru
- Di tempat kerja, ide segar tenggelam karena semua orang takut menjadi berbeda atau salah.
- Di media sosial, kreativitas dibatasi oleh ketakutan “tidak mendapat likes”, dan cenderung orang hanya ikut arus tren, bukan menulis pikiran orisinal.
Sementara itu, Dinno Baskoro dan Lusia Kus Anna dalam artikel Kompas (2023), menyebutkan bahwa media sosial memperparah perfeksionisme remaja karena "menampilkan standar hidup sempurna yang tidak realistis."