Perfeksionisme: Alasan Diam yang Nggak Pernah Kamu Sadari?
“Kenapa kamu diam?”
“Takut salah.”
“Takut dikomentari.”
“Takut nggak sesuai harapan.”
Ketika orang ditanya alasan kenapa mereka tidak menyuarakan pendapat, tidak menulis ide yang mereka punya, atau tidak bertanya saat sedang bingung, alasan-alasan ini sering muncul. Tapi yang jarang disebut- padahal sangat kuat pengaruhnya - adalah: perfeksionisme.
Diam karena perfeksionisme adalah diam yang terorganisir rapi. Ia bukan sekadar malu-malu. Ia adalah ketakutan untuk tampil tidak ideal. Dan ironisnya, itu justru membungkam potensi terbaik dari diri seseorang. Bukan karena tak punya ide. Bukan karena tak mampu. Tapi karena terlalu takut terlihat tidak sempurna.
Perfeksionisme Ada di Mana-Mana, Tapi Jarang Disadari
Perfeksionisme bukan sekadar obsesi akan hasil terbaik. Ia hadir sebagai ketakutan: takut salah, takut dinilai, takut gagal memenuhi ekspektasi sosial.
Perfeksionisme tidak selalu tampak. Ia menyelinap lewat standar sosial yang diam-diam kita telan bulat-bulat. Ia muncul di ruang kelas, di ruang kerja, bahkan dalam unggahan di media sosial.
Penelitian global oleh Curran & Hill (2019) menunjukkan bahwa: “Socially-prescribed perfectionism - perasaan harus sempurna karena tekanan sosial - meningkat 33% dalam tiga dekade terakhir.”
Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia. Studi oleh Fadhlurrahman dkk. (2024) di jurnal INSAN menemukan bahwa: "Perfeksionisme berkontribusi signifikan terhadap tingkat burnout mahasiswa kedokteran di Indonesia."