Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perfeksionisme: Alasan Diam yang Nggak Pernah Kamu Sadari?

23 Juni 2025   06:30 Diperbarui: 23 Juni 2025   06:21 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perfeksionisme: Alasan Diam yang Nggak Pernah Kamu Sadari?

“Kenapa kamu diam?”

“Takut salah.”
“Takut dikomentari.”
“Takut nggak sesuai harapan.”

Ketika orang ditanya alasan kenapa mereka tidak menyuarakan pendapat, tidak menulis ide yang mereka punya, atau tidak bertanya saat sedang bingung, alasan-alasan ini sering muncul. Tapi yang jarang disebut- padahal sangat kuat pengaruhnya - adalah: perfeksionisme.

Diam karena perfeksionisme adalah diam yang terorganisir rapi. Ia bukan sekadar malu-malu. Ia adalah ketakutan untuk tampil tidak ideal. Dan ironisnya, itu justru membungkam potensi terbaik dari diri seseorang. Bukan karena tak punya ide. Bukan karena tak mampu. Tapi karena terlalu takut terlihat tidak sempurna.

Perfeksionisme Ada di Mana-Mana, Tapi Jarang Disadari

Perfeksionisme bukan sekadar obsesi akan hasil terbaik. Ia hadir sebagai ketakutan: takut salah, takut dinilai, takut gagal memenuhi ekspektasi sosial. 

Perfeksionisme tidak selalu tampak. Ia menyelinap lewat standar sosial yang diam-diam kita telan bulat-bulat. Ia muncul di ruang kelas, di ruang kerja, bahkan dalam unggahan di media sosial.

Penelitian global oleh Curran & Hill (2019) menunjukkan bahwa: “Socially-prescribed perfectionism - perasaan harus sempurna karena tekanan sosial - meningkat 33% dalam tiga dekade terakhir.”

Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia. Studi oleh Fadhlurrahman dkk. (2024) di jurnal INSAN menemukan bahwa:  "Perfeksionisme berkontribusi signifikan terhadap tingkat burnout mahasiswa kedokteran di Indonesia."  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun