Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pemerhati Pendidikan dan Pegiat Literasi Politik Domestik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Euforia Reformasi ke Ancaman Oligarki: Nasib Pilkada di Persimpangan

1 Agustus 2025   13:40 Diperbarui: 1 Agustus 2025   13:48 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto menggunakan hak pilih di Pilkada 2024, di TPS 008 Bojong Koneng, Bogor (Sumber: KOMPAS.Com)

Sejak reformasi bergulir, hak rakyat memilih pemimpinnya secara langsung, dari presiden hingga kepala daerah, menjadi salah satu tonggak demokrasi terpenting.

Namun, wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat. 

Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyentuh inti kedaulatan rakyat dan masa depan demokrasi Indonesia.

Kilasan Sejarah: Dari Dewan ke Rakyat dan Kembali Lagi

Pada masa Orde Baru, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sistem ini dikritik karena menutup partisipasi rakyat dan menguatkan kendali pusat.

Reformasi kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengamanatkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Kebijakan ini disambut hangat sebagai wujud nyata kedaulatan rakyat.

Kini, wacana kembali ke sistem lama muncul dengan alasan menghemat biaya pilkada, mengurangi polarisasi, dan menjamin stabilitas karena kepala daerah akan otomatis didukung legislatif. Sekilas tampak logis, namun risikonya jauh lebih besar.

Ancaman bagi Demokrasi

Mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD berarti memundurkan jam reformasi. Dampak buruk yang mungkin timbul antara lain:

1. Penggerusan Kedaulatan Rakyat
Hak memilih langsung adalah esensi demokrasi. Jika dicabut, kepala daerah lebih loyal pada elite DPRD daripada masyarakat. Ini menciptakan jarak antara pemimpin dan yang dipimpin, sekaligus mengikis kepercayaan publik.

2. Politik Dagang Sapi dan Kartel Kekuasaan
Pemilihan tertutup di DPRD rawan negosiasi transaksional. Partai-partai dapat saling berbagi jabatan atau proyek strategis. Pemimpin yang terpilih bukan yang paling kompeten, melainkan yang paling lihai berpolitik.

3. Korupsi dan Oligarki Lokal
Suara anggota DPRD bisa jadi komoditas yang diperjualbelikan. Kandidat bermodal besar akan diuntungkan, dan setelah terpilih, mereka terdorong "mengembalikan modal" melalui korupsi. Kekuasaan pun terkonsentrasi pada segelintir elite.

4. Birokrasi yang Tidak Profesional
Kepala daerah hasil pemilihan DPRD cenderung mengisi jabatan strategis dengan orang partai. Birokrasi menjadi alat politik, bukan pelayan publik. Kualitas layanan dan pembangunan daerah berpotensi menurun.

5. Partisipasi dan Pengawasan Publik Melemah
Pilkada langsung menumbuhkan kesadaran politik masyarakat. Jika hak ini hilang, gairah politik rakyat padam dan pengawasan publik melemah. Akuntabilitas kepala daerah pun hanya kepada dewan, bukan warga.

Jalan Keluar: Perbaiki, Bukan Ganti Sistem

Munculnya wacana ini berangkat dari masalah nyata pilkada langsung: biaya mahal, politik uang, dan polarisasi. Namun, mengganti sistem ke DPRD ibarat membakar lumbung untuk membunuh tikus.

Solusi terbaik adalah memperbaiki, bukan mundur:

  • Menekan biaya pilkada melalui regulasi ketat.
  • Memperkuat pengawasan pemilu untuk mencegah politik uang.
  • Meningkatkan pendidikan politik masyarakat agar rasional dalam memilih.
  • Memberikan sanksi tegas pada pelanggaran pemilu.

Demokrasi yang sehat bukan demokrasi yang diulang ke masa lalu, melainkan yang terus diperbaiki dan diperkuat. 

Mempertahankan pilkada langsung dengan reformasi mendasar adalah jalan menjaga kedaulatan rakyat dan memastikan pemimpin bertanggung jawab kepada seluruh warga, bukan hanya elite politik.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun