Mohon tunggu...
Trisnawati
Trisnawati Mohon Tunggu... Pendidik di SMK Negeri 3 Sampit, Provinsi Kalimantan Tengah

Menulis adalah kebebasan berekspresi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Lebaran

21 Maret 2025   19:47 Diperbarui: 21 Maret 2025   19:47 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lalu, bagaimana? Mana Pak Danan dan yang lain Ayah?" Tanyaku.

"Mereka masih di sana, malingnya berhasil ditangkap". Lalu Ayah berlalu dari hadapanku.

"Hati-hati Ayah!" aku berteriak sambil memandang tubuh Ayah yang semakin menghilang di kegelapan malam.

Warga kampung heboh mendengar ada maling di malam lebaran. Untuk apa dia mencuri di malam lebaran? Aku bertanya-tanya penuh heran. Ingin rasanya aku menyusul Ayah, aku khawatir. Orang-orang mulai berlari ke arah datangnya suara tadi. Semakin banyak, dan semakin banyak, diikuti suara-suara "Hajar dia, pukul...hajar!". Aku semakin khawatir. Aku berlari mengkuti warga yang ramai ke arah suara itu. Aku penasaran dengan yang terjadi, terlebih ada Ayah di sana. Kusibak kerumunan, kucari Ayah. Di mana Ayah? Kucari maling seperti yang dikatakan Ayah tadi, tapi tak ada. Di mana maling itu?

Mataku tertuju ke arah sosok laki-laki berbaju hitam, wajahnya tertunduk lesu. Kulihat pucat wajahnya di keremangan malam. Gemeretak lututnya seakan bisa kudengar dengan getaran celana hitam yang dipakainya. Oh, apakah dia maling yang ditangkap itu. Lalu kutemukan Ayah di sana sedang berbicara dengan laki-laki itu. "Fiuh..." aku mendesah lega. Ayah baik-baik saja. Aku mendekat perlahan, menguping pembicaraan mereka. Apa yang akan dilakukan terhadap maling di malam lebaran itu.

Kulihat kemarahan di mata warga, termasuk Pak Danan, mereka tidak terima dengan perilaku laki-laki berbaju hitam itu. Pak Danan mengutuk perbuatan tak terpuji di malam lebaran itu, malam yang seharusnya diisi dengan takbir indah malah diributkan dengan kehadiran maling. Aku pun merasa kesal pada Maling itu, besok lebaran, untuk apa dia mencuri? Apakah setelah mencuri dia akan meminta maaf pada korbannya? Begitu mudahnya tanpa memikirkan sanksi agama dan moral yang dia terima. Hal ini membuatku geram. Ayah menjadi penengah dalam hal ini, Ayah mengkhawatirkan keselamatan si Maling sebab beberapa warga menginginkan si Maling untuk dihakimi dengan kekerasan.

"Sudahlah Pak Guru, kenapa tidak kita beri saja dia pelajaran sekarang" kata Pak Danan.

"Betul, betul!" beberapa warga yang mendukung Pak Danan berteriak. Aku ketakutan, dalam hati aku merasa kasihan pada si Maling mungkin dia punya alasan kenapa hal ini dilakukan.

Seseorang berlari menemui Ayah lalu membisikkan sesuatu padanya. Ayah mengangguk tanda mengerti. "Pak Warto, kenapa Anda melakukan ini?" Tanya Ayah pada si Maling yang ternyata adalah Pak Warto warga kampungku juga. "Saya tidak berniat mencuri pak, Saya hanya ingin mengambil bambu yang ada di sebelah rumah Bu Minah, karena saya ingin membuat obor bambu untuk anak saya. Demi Allah." Jawab Pak Warto dengan terisak.

"Ah, persetan, tak perlu membawa nama Tuhan untuk membela diri dari perlakuan bejatmu itu Warto" Pak Danan geram. Matanya merah hampir keluar.

"Tenang Pak Danan, lebih baik kita tanyakan hal ini pada Bu Minah. Bu Minah, apakah Ibu melihat bahwa Pak Warto memang ingin menyelinap masuk ke rumah Ibu?" Tanya Ayah pada Bu Minah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun