Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Masa Depan: Memburu Bintang Berekor

13 Desember 2020   14:52 Diperbarui: 13 Desember 2020   14:57 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.pinterest.com/pin/453737731208642175/

Memburu Bintang Berekor
Tri Budhi Sastrio

Rasa ingin tahu bila bergabung
Dengan ambisi menyala-nyala
Akibatnya pasti sulit diduga 
Dan sangat luar biasa.
Tetapi adalah tidak benar 
Jika beranggapan bahwa
Sikap rendah hati dan mau 
Menerima kenyataan
Lebih rendah kualitasnya 
Dibandingkan dengan rasa ingin tahu!

Di ruang briefing Pusat Antariksa Nasional tidak ada kursi kosong. Semua terisi. Kalau bukan oleh perwira tinggi militer ya oleh pejabat tinggi Pusat Antariksa Nasional. Sambil menunggu kedatangan seseorang, yang sudah hadir berbicara dengan rekan-rekan dekat mereka. Suara pembicaraan seperti dengung tawon. Halus tetapi mengganggu!

Suara dengung itu baru berhenti ketika pintu ruangan terbuka. Seorang laki-laki berkumis tipis dan berpakaian militer melangkah masuk. Laki-laki itu tersenyum lucu seperti anak kecil tertangkap sedang  mengambil kue yang bukan bagiannya.

Kalau berpikir orang yang satu ini orang penting, anda benar. Tetapi kalau anda berpikir orang ini paling tinggi kedudukan dan jabatannya, maka anda salah besar. Pangkatnya cuma Mayor, jabatannya cuma penerbang.

Sedangkan yang menunggu lebih dari tiga menit terdiri dari dua Jenderal, tiga Kolonel, satu Letnan Kolonal, dan selebihnya adalah pejabat-pejabat teras Pusat Antariksa Nasional. Sebagian besar dari mereka bergelar Doktor.

"Maafkan saya tuan-tuan!" kata Mayor yang masih tetap tersenyum nakal itu. "Sebenarnya saya tidak terlambat kalau saja tali sepatu saya tidak tiba-tiba putus. Wah, saya kelabakan mencari penggantinya. Anda tahu tuan-tuan ternyata tidak ada cadangan tali sepatu dalam lembaga ini. Saya pikir ini perlu diperbaiki! Setiap orang membutuhkan tali cadangan sepatu karena kalau ada kejadian seperti yang saya alami, baru terlihat pentingnya! ini wewenang Jenderal Baskoro  dari Departemen Material dan Perlengkapan."

Yang dipanggil dengan sebutan Jenderal Baskoro tersenyum. Mayor yang satu ini memang kurang ajar.

"Saya terpaksa menggunakan rumput Jepang sebagai penggantinya. Agar tidak menyolok, saya semir tuh rumput Jepang!" Mayor itu melanjutkan.

Beberapa orang yang duduknya dekat, menegakkan kepala dan memperhatikan sepatu si Mayor. Ternyata memang benar! Mereka tersenyum geli bahkan ada yang menggeleng-gelengkan kepala. Jenderal Hartoyo, orang paling senior dalam ruangan itu, yang juga merangkap pimpinan pertemuan, ikut-ikutan tersenyum, meskipun cuma sekejab.

"Silahkan duduk, Mayor Kasmin!" kata Jenderal Hartoyo. Sudah hilang senyumnya sekarang. Wajahnya kembali membeku. Dingin dan tidak berperasaan. "Hampir lima menit kami menunggu anda!" Jenderal Hartoyo berkata sambil melirik arloji nuklirnya. "Saya tidak tahu tali sepatu anda memang putus atau diputuskan karena tahu akan terlambat tetapi yang jelas anda terlambat lima menit dan saya tidak suka ini!"

"Tetapi Jenderal ...!"

"Silakan duduk, Mayor! Pertemuan akan segera saya buka. Masih banyak yang perlu dibicarakan!" Jenderal Hartoyo mengangguk pada Mayor Kasmin. Anggukan yang sungguh-sungguh.

Mayor Kasmin mengangkat kedua alis matanya sambil tetap tersenyum nakal. Mayor ugal-ugalan ini melangkah ke kursinya.

Mungkin mengherankan, seorang Mayor dibiarkan bertindak ugal-ugalan di depan seorang Jenderal tetapi Mayor Kasmin bukan sembarang Mayor. Dari tiga ribu calon dialah yang terbaik. Tidak mengherankan jika dua Jenderal bersedia menunggunya. Tanpa kehadiran Mayor Kasmin sia-sialah pertemuan itu. Pertemuan ini adalah pertemuan khusus untuk Mayor Kasmin.

Misinya begitu penting sampai-sampai minta gunung pun pasti akan diusahakan. Di samping dia orang yang memenuhi syarat, juga cuma dia seorang yang bersedia melakukan misi ini. Misi memburu bintang berekor, kemudian berusaha terbang sedekat mungkin ke intinya dan mengambil beberapa macam contoh materi bintang berekor itu sendiri, jelas bukan tugas yang bisa dibuat main-main.

Untuk menyiapkan pesawatnya saja, sebuah pesawat antariksa yang kecil, ringan, tetapi canggih, melibatkan tidak kurang dari tiga puluh ribu ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan pesawat itu juga bukan main-main. Seandainya biaya itu digunakan untuk membeli bahan makanan dan kemudian disumbangkan untuk Ethiopia maka selama setahun lebih seluruh penduduk Ethiopia  pasti mampu menyelenggarakan pesta makan-makan setiap harinya.

Jadi  dapat dibayangkan bagaimana proyek ini dirintis dengan banyak dana dan daya karenanya tidak mengherankan kalau Mayor Kasmin mendapat prioritas tersendiri untuk sikapnya yang kurang ajar. Juga dapat dipahami mengapa Jenderal Hartoyo yang terkenal keras dan disiplin, bersedia melonggarkan sikapnya, suatu hal yang hampir-hampir tidak pernah dilakukan sepanjang kariernya selama ini.

"Saudara-saudara," kata Jenderal Hartoyo begitu Mayor Kasmin duduk, "Pertemuan ini mungkin pertemuan terakhir yang diadakan sebelum Mayor Kasmin berangkat dengan tugas penting. Sekarang secara resmi pertemuan ini dinyatakan dibuka. Kolonel Suwandi akan mengawali pembicaraan kita dengan beberapa keterangan penting terutama yang menyangkut kesiapan pesawat yang hendak digunakan. Kolonel Suwandi, silahkan!"

Kolonel Suwandi mengangguk. Dia kepala proyek ini.

"Terima kasih atas kesempatan yang diberikan, Jenderal!" kata Kolonel Suwandi. "Selamat pagi saudara-saudara sekalian. Khusus untuk Mayor Kasmin, salam khusus saya untuk anda." Mayor Kasmin berdiri dan membungkuk jenaka.

"Pesawat Antariksa dengan nama panggilan PEBIKOR X-1 bisa dilaporkan telah siap seratus persen. Bahan bakar telah diisi, sistim komputer telah diaktifkan dan disambung dengan Komputer Induk. Beberapa peralatan penting lainnya juga telah diaktifkan. Manurut rencana seusai pertemuan ini akan diadakan hitung mundur sampai esok tepat pukul 08.00 WIB. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kondisi dan keadaan pesawat!"

Kemudian Kolonel Suwandi melanjutkan keterangannya dengan beberapa istilah teknis. Semua yang hadir mendengarkan dengan penuh perhatian terutama Mayor Kasmin. Mayor ugal-ugalan ini ternyata bisa juga menjadi pendengar yang baik.

"Demikian laporan saya!" Kolonel Suwandi mengakhiri keterangannya.

"Terima kasih!" kata Jenderal Hartoyo. "Saya gembira sekali mendengar semuanya berjalan lancar."

Kemudian Jenderal Hartoyo berturut-turut bertanya pada penanggung jawab Komputer, Penerbangan, Penelitian Ilmiah, Stasiun Bumi, dan Peluncuran. Semuanya memberi laporan positif. Hampir-hampir tidak ada hambatan sama sekali. Semuanya sempurna. Proyek raksasa dengan biaya triliunan dan dukungan ribuan ilmuwan memang tidak diharapkan kacau balau. Semuanya berjalan sempurna sesuai dengan rencana induk.

"Sekarang, sebagai pembicara terakhir, saya persilahkan Mayor Kasmin. Untuk proyek sepenting ini, saya memang memutuskan untuk tidak menyediakan penerbangan cadangan. Yang ada cuma penerbang utama. Kalau penerbang utama berhalangan seluruh proyek akan ditunda. Saya inginkan seandainya memang ada penundaan, dua belas jam sebelum peluncuran tiba atau sebelum jam delapan malam nanti, penundaan tersebut bisa diketahui. Media massa akan menerima berita peluncuran ini sekitar tengah malam nanti. Saya tidak ingin koran pagi memberitakan kepastian peluncuran tetapi yang terjadi penundaan!"

Jenderal Hartoyo berbicara pelan, tenang, tetapi penuh ketegasan. Tidak salah orang seperti dia menjadi pimpinan tertinggi Pusat Antariksa Nasional.

"Silakan Mayor Kasmin!"

"Terima kasih, Jenderal!" kata Mayor Kasmin. "Saya siap berangkat, bahkan sekarang juga! Saya memberi jaminan untuk ini, Jenderal. Tidak akan ada penundaan sepanjang yang berhubungan dengan diri pribadi saya. Kesehatan tubuh dan mental saya prima. Saya sedang berada dalam kondisi puncak, luar dan dalam. Kecuali ...."

Mayor Kasmin berhenti sejenak. Yang hadir menunggu kelanjutannya. Sedikit agak tegang. Untuk proyek sepenting ini sebaiknya tidak ada kata 'kecuali'. Semuanya harus pasti dan sempurna.

"Kecuali tali sepatu saya, Jenderal!" Mayor Kasmin melanjutkan bersungguh-sungguh.

Yang hadir hampir saja tertawa terbahak-bahak. Cuma karena segan pada Jenderal Hartoyo mereka berusaha sekuat tenaga menahannya. Jenderal Hartoyo sendiri sedikit berubah air mukanya. Memang baru Mayor Kasmin yang berani berani melucu dan bertindak ugal-ugalan di depannya.

"Tali sepatumu akan segera diganti dengan yang baru dan yang kuat!" kata Jenderal Hartoyo. "Jenderal Baskoro akan menangani ini!"

"Siap Jenderal," kata Jenderal Baskoro. Ada nada geli dalam suaranya.

"Apa lagi yang ingin engkau katakan, Mayor?" tanya Jenderal Hartoyo.

"Banyak sekali Jenderal!" jawab Mayor Kasmin seenaknya. "Cuma karena keterbatasan waktu saya hanya akan bertanya yang penting-penting saja. Tiga bulan yang lalu, ketika saya dipastikan mendapat tugas ini, saya sudah bertanya pada Jenderal.  Apa sih tujuan sebenarnya misi ini? Tetapi anda mengelak menjawab pertanyaan saya dan mengatakan akan dijawab pada saat yang tepat. Apakah sekarang bukan saat yang tepat, Jenderal?"

Jenderal Hartoyo diam. Mukanya yang memang pada dasarnya selalu serius sekarang tampak semakin serius. Kemudian Jenderal itu menatap Kolonel Suwandi. Cukup lama juga keduanya saling pandang, seperti sedang berkomunikasi lewat mata, sebelum akhirnya Jenderal Hartoyo berkata.

"Bawa kemari file merah itu, Kolonel!"

"Anda ...!"

"Ya," Jenderal Hartoyo memotong kata-kata Kolonel Suwandi. "Mayor Kasmin berhak tahu apa tujuan utama tugasnya ini!"

Kolonel Suwandi berdiri, melangkah cepat ke luar ruangan dan dua menit kemudian Kolonel itu kembali dengan map tebal berwarna merah.

Jenderal Hartoyo menerimanya. Mereka tidak saling berbicara.

"Anda betul-betul ingin tahu, Mayor?" tanya Jenderal Hartoyo sekali lagi sebelum membuka map merah itu.

"Tentu saja Jenderal!" jawab Mayor Kasmin.

"Sampai saat ini cuma saya, Kolonel Suwandi, Presiden, dan beberapa pejabat tinggi saja yang tahu isi map merah ini!" kata Jenderal Hartoyo sambil mulai membuka map merah. "Sampai saat ini baru ada lima negara yang pernah mencoba mengikuti bintang berekor. Misi mereka memang tidak bisa dikatakan gagal tetapi juga tidak bisa dikatakan berhasil. Mengapa? Karena sampai saat ini mereka tetap buta inti materi bintang berekor. Mereka cuma bisa menduga-duga saja! Nah, kita sekarang tidak lagi cuma menduga-duga. Kita akan mengambil inti materi tersebut. Kita akan membawanya kembali ke Bumi dan mereka harus membeli dari kita kalau mereka ingin tahu. Inilah tujuan kita ditinjau dari segi bisnis!"

"Tetapi apakah anda pikir kita akan menjual bahan tersebut? Tidak saudara-saudara! Tidak satu gram pun bahan tersebut yang akan dijual. Kita baru akan menjualnya pada mereka kalau puluhan ribu ilmuwan kita berhasil menemukan sesuatu yang berguna dan berharga untuk diolah. Saya percaya ini! Jutaan tahun bintang berekor menyala. Jutaan tahun mereka berkelana. Mengapa materi tersebut tetap bertahan? Siapa yang beranggapan materi tersebut biasa-biasa saja maka dia salah besar. Pasti ada sesuatu yang hebat di sana. Nah, sesuatu inilah yang ingin diketahui. Jadi adalah tugas anda Mayor Kasmin untuk mewujudkan impian ini."

"Saya dan para ilmuwan kita percaya bahwa  ada sejenis logam atau materi yang luar biasa di sana. Logam atau materi yang sanggup menyala jutaan tahun tanpa perlu menjadi habis. Kalau logam atau setidak-tidaknya materi tersebut bisa dimodifikasi sesuai dengan keperluan kita, apakah ini bukan berarti kita mendapat sumber energi abadi?"

Jenderal Hartoyo berhenti sejenak. Dia memperhatikan lembaran kertas di map merah.

"Matahari, menurut pengamatan para ilmuwan kita, setiap harinya cenderung semakin mengecil, untuk kemudian suatu ketika akan cuma tertinggal noktah tak bercahaya, tergantung di angkasa sana. Sedangkan Bintang Berekor, bukannya semakin kecil, malah kadang-kadang ditemukan mereka semakin membesar. Apa makna ini semua? Bahan dasar mereka berbeda. Nah, perbedaan inilah yang ingin diketahui. Sadarkah anda Mayor, manfaat besar macam apa yang akan diwariskan pada anak cucu kita kalau  bisa mendapatkan logam atau materi hebat itu? Apalagi kalau suatu ketika nanti kita mampu memproduksinya secara besar-besaran? Bumi tidak akan pernah kekurangan energi lagi! Bumi tidak lagi perlu menggantungkan kebutuhan energinya pada planet dan bintang lain. Bumi bisa membuat bintangnya sendiri, bisa membuat matahari dan bulannya sendiri."

Suara Jenderal Hartoyo bergema tenang menyeruak bersama-sama dengan ambisi dan harapan anak manusia. Yang hadir terdiam, tidak terkecuali Mayor Kasmin.

"Kita harus berdiri dengan kemampuan kita sendiri kalau tetap ingin bertahan di alam semesta ini. Kita tidak boleh cuma menunggu alam semesta memberi kesempatan hidup. Tidak! Kita harus berupaya dengan akal dan pikiran sendiri untuk menjamin kelangsungan hidup kita sendiri!"

Ruangan kembali hening begitu gema suara Jenderal Hartoyo hilang.

Bila ambisi dan harapan berbaur menjadi satu memang gemanya akan memantul panjang dan lama. Mungkin inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lannya. Mereka berpikir dan terus berpikir sampai melewati batas-batas kemanusiaan mereka sendiri. Tidak sadarkah kalau pada akhirnya, bukan ambisi dan harapan, bukan akal dan pikiran, bukan kecerdasan dan ketekunan yang berbicara, tetapi kekuasaan Yang Mahatinggi di sanalah yang akan berbicara?

Tetapi manusia tidak kenal puas dan kadang-kadang terlalu khawatir pada hasil karyanya sendiri. Mereka selalu tidak puas dan ingin lebih. Seringkali mereka berpikir pantaskah mereka yang diberi kemampuan akal pikiran cemerlang cuma tinggal diam menghadapi takdir masa depannya? Tidak berusaha berbuat sesuatu dan bersiap-siap kalau seandainya semua fasilitas yang diberikan oleh Dia, ditarik kembali? Apa yang akan terjadi kalau tiba-tiba saja oleh Dia matahari sumber segala kehidupan di bumi ini ditarik dari peredarannya?

Jenderal Hartoyo adalah salah seorang pembuat keputusan yang meyakini kebenaran konsep berpikir seperti ini. Tidak mengherankan kalau Pusat Antariksa Nasional melakukan proyek yang sangat ambisius ini. 

Pertemuan segelintir orang yang mencoba menyiapkan keadaan dan kehidupan masa datang itu akhirnya berakhir juga ketika Jenderal Hartoyo menyerahkan map merah pada Mayor Kasmin.

"Anda mendapat kehormatan membaca dokumen dan semua latar belakang pemikiran proyek ini, Mayor!" kata Jenderal Hartoyo. "Semoga setelah membaca penjelasan rinci ini anda tidak beranggapan bahwa misi ini adalah misi bunuh diri. Kami telah mempersiapkan dan merencanakan semuanya sesuai dengan kemampuan, dan tentu saja sesuai dengan kemampuan anda, Mayor! Selamat mempelajari dokumen itu, dan sampai jumpa besok pagi di landasan peluncuran. Saya yang akan mengantar anda masuk ke dalam pesawat!"

Cuma Mayor Kasmin yang masih belum beranjak dari tempatnya ketika semua orang sudah keluar. Haruskah dia membaca semua keterangan dalam map itu atau tidak usah saja? Semakin banyak orang mengetahui sesuatu biasanya semakin banyaklah pertimbangan dan kekhawatirannnya.

"Aku sudah menerima tugas ini mengapa aku masih harus banyak bertanya?" tanya Mayor Kasmin pada dirinya sendiri. Mayor Kasmin mendorong map merah itu ke tengah meja dan tersenyum lebar. "Aku tidak perlu membaca keterangan ini toh nanti aku akan bertemu dengan bendanya. Semua  penjelasan tentang bintang berekor dalam map ini pasti lebih banyak didasarkan pada asumsi dibandingkan dengan fakta!"

Mayor Kasmin keluar dari ruangan itu meninggalkan map merah sambil bersiul-siul gembira.

Keesokan harinya, pukul  08.00 WIB, tepat seperti yang direncanakan, pesawat PEBIKOR X-1, melesat ke angkasa biru.

Kapan Mayor Kasmin kembali ke Bumi? Tidak ada yang tahu! Para ilmuwan tidak tahu. Jenderal Hartoyo tidak tahu. Bahkan Mayor Kasmin sendiri pun tidak tahu.

Ilmu pengetahuan pada mulanya memang berawal dari ketidak-tahuan. Dia Yang Mahatahu yang setitik demi setitik memberikan 'kemahatahuannya' pada manusia. Semoga manusia tidak menyia-nyiakan titik-titik kecil itu. (R-SDA-12122020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun