Mohon tunggu...
Tresnaning Diah
Tresnaning Diah Mohon Tunggu... Penulis fiksi dan nonfiksi. Pencinta kata, pejalan sunyi, penyusun napas dari serpih-serpih cerita.

Perempuan yang percaya bahwa setiap luka punya kata, dan setiap kata bisa jadi ruang pulang. Menulis sudah menjadi panggilan hati sejak remaja, tapi baru satu tahun terakhir keberanian itu benar-benar diberi ruang untuk tumbuh dan bersuara. Baginya, menulis bukan hanya tentang mengisi halaman, tetapi menyusun ulang hidup, menemukan makna di balik kehilangan, keheningan, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan. Pernah berkarya di industri migas, kini meniti jalan sunyi sebagai perangkai kata. Ia menemukan pelipur bukan hanya dalam kalimat, tetapi juga dalam jejak Langkah, menapaki gunung saat hati merindukan ketenangan, atau sekadar menyelam ke dalam sunyi untuk memahami diri sendiri. Cerita-ceritanya hadir dari ruang paling personal: tentang cinta yang tak selesai, perempuan yang belajar berdiri lagi, dan dunia yang kadang terlalu keras namun tetap ingin dipeluk. Genre favorit: roman reflektif, slice of life, fantasi spiritual, dan kisah yang ditulis dengan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payung Kuning dan Celengan Ayam: Kisah Anak-Anak Hebat

1 September 2025   20:34 Diperbarui: 1 September 2025   20:34 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak Indonesia hebat (ilustrasi pribadi/tresnaningdiah)

Jam enam lewat sepuluh, musala di ujung gang masih menahan dingin subuh. Udara basah sisa hujan malam, lantai semen licin, tapi anak-anak sudah duduk di tikar pandan, menunggu mobil pustaka keliling yang biasanya datang setiap Rabu. Mobil itu sejenis elf biru, pintunya diganti rak kayu berisi buku. Aku sudah tiga bulan menjadi relawan membaca di sini.

Kayla selalu datang paling awal. Rambutnya diikat seadanya, di tangannya ada payung kuning dengan ujung patah. Ia menata sandal anak-anak, menyapu tikar dengan sapu lidi, lalu menoleh padaku. "Nanti bacanya dua puluh menit ya, Kak. Habis itu kita cerita."

Dua puluh menit sudah jadi kebiasaan. Waktu singkat itu cukup untuk membuka satu halaman, menemukan satu kata, atau mengingat satu gambar.

Hari itu mobil pustaka datang terlambat. Anak-anak hampir berebut, Kayla buru-buru menahan. "Antri, satu-satu! Yang kecil duluan." Suaranya lebih mirip meniru gurunya daripada memerintah. Anak-anak pun tertib.

Deno, bocah berkulit legam yang selalu berlari paling cepat, menenteng dua botol bekas. "Buat ditukar poin kebersihan, Kak!" katanya bangga. Ia punya kebiasaan mengumpulkan sampah plastik dari jalan. Setiap minggu ia menyerahkannya ke bank sampah di kelurahan. "Biar lapangan bola kita nggak penuh sampah," ujarnya.

Suci datang sambil membawa tas kain bergambar Doraemon. Ia tidak pernah lupa mengucapkan terima kasih setiap kali menerima sesuatu, sekecil apa pun. Pernah, hanya karena diberi kertas lipat, ia menangkupkan tangan di dada. Kebiasaan kecil itu menular; teman-temannya jadi terbiasa membalas dengan sopan.

Bimo selalu membawa roti kismis buatan neneknya. Ia tahu beberapa temannya jarang sarapan. Setiap Rabu, ia menyobek roti itu jadi empat bagian. "Biar semua kebagian," katanya. Kadang ia masih ingin menambah gigitan untuk dirinya sendiri, tapi ia belajar menahan.

Ilham, anak paling kurus di antara mereka, punya kebiasaan unik: mencatat nama teman yang datang terlambat. Bukan untuk mengadu, tapi untuk memastikan teman-temannya tidak ketinggalan buku bagus. "Kalau ada yang nggak sempat baca, aku bisa pinjemin bukuku," katanya sambil mengangkat buku tulis tipis berisi catatan kehadiran.

Kayla sendiri memilih buku bergambar kupu-kupu. Ia mengeja pelan kata "metamorfosis" sambil tersenyum. Ia mencatat kata itu di bukunya, huruf-hurufnya masih besar dan miring.

Di rak warung ibunya, ada celengan ayam merah. Setiap ada kembalian seratus atau dua ratus rupiah, Kayla memasukkannya ke sana. "Buat beli kamus, Kak," katanya suatu kali.

Hari itu, setelah dua puluh menit membaca, mereka bercerita. Deno tentang sungai tempat ia suka bermain. Suci tentang museum yang pernah ia lihat di televisi. Bimo tentang kue cucur kesukaannya. Ilham tentang tukang pos yang tetap mengantar surat meski hujan deras. Kayla memeluk payung kuningnya dan bercerita tentang kupu-kupu yang harus diam dulu di dalam kepompong supaya sayapnya kuat.

Beberapa minggu kemudian, hujan turun lebih pagi. Mobil pustaka tidak datang. Jalanan becek, selokan meluap. Anak-anak tidak pulang. Mereka duduk di mushala, membuka buku bekas dari kotak plastik. Kayla menyodorkan payung kuningnya padaku. "Kak, baca aja dulu. Habis itu kita bantu Bu Nia di posyandu, ya?"

Kami membaca dalam bunyi hujan. Setelah dua puluh menit, Kayla berdiri. "Ayo, Kak, kita bisa bantuin."

Di posyandu, mereka sibuk dengan caranya masing-masing. Deno mengangkat kursi plastik, Suci menempel nomor antrian, Ilham mengatur payung untuk ibu-ibu, Bimo membawa gelas air putih. Mereka tidak sempurna, kadang ribut, kadang berebut, tapi tawa mereka membuat posyandu terasa lebih ringan.

Siang hari hujan reda. Kayla melilitkan payungnya dengan karet gelang. Ia menatap jalan yang masih tergenang. "Sayang mobilnya nggak datang." Lalu ia membuka celengan ayam, menghitung receh satu-satu. "Kurang tujuh ribu lagi," katanya sambil tersenyum kecil.

Minggu berikutnya, mobil pustaka datang tepat waktu. Anak-anak bersorak. Kayla meminjam dua buku: tentang pahlawan perempuan dan tanaman obat. Sebelum pulang, ia duduk sebentar mengajari adik kecil mengeja huruf vokal. "A... I... U..." Suaranya bercampur tawa. Setiap adik itu berhasil, Kayla mengangkat jempolnya tinggi-tinggi.

Di sekolah, kebiasaan anak-anak ini semakin terlihat. Suci yang rajin menulis ucapan terima kasih di bawah tugasnya. Bimo yang selalu membagi bekal. Deno yang mengingatkan teman agar tidak membuang plastik sembarangan. Ilham yang suka meminjamkan penggarisnya kepada siapa saja yang lupa membawa. Mereka tidak sadar, kebiasaan itu membuat kelas jadi lebih tertib dan nyaman.

Suatu Jumat, wali kelas mengajak berbagi bekal. Kayla membawa dua potong tempe goreng dan sepotong kecil telur dadar dari warung ibunya. Ia menunggu semua duduk, lalu memutar kotak bekalnya agar teman di kiri dan kanan bisa mengambil. Saat seorang teman lupa membawa bekal, Kayla menyodorkan kotaknya lebih lama. "Ambil aja, jangan malu." Seusai makan, mereka membereskan meja, memungut remah, dan mengembalikan sendok ke kantin.

Bulan itu, sekolah mengadakan kelas peduli lingkungan. Anak-anak diminta membawa benih dan merawatnya tiga puluh hari. Banyak yang memilih kacang hijau. Deno mencoba menanam jagung. Suci membawa bunga kertas dari halaman rumahnya. Bimo menanam tomat kecil. Ilham mencoba menumbuhkan daun bawang dari sisa dapur. Kayla membawa cabai rawit. "Soalnya di warung suka kehabisan cabai," katanya polos.

Setiap pagi mereka menyiram tanaman mereka. Ada yang tumbuh cepat, ada yang layu, ada yang butuh diganti. Deno hampir putus asa karena jagungnya tak kunjung tinggi, tapi anak-anak lain menyemangati. "Kalau gagal, coba lagi," kata Ilham. Itu jadi kebiasaan baru: saling menguatkan ketika salah satu teman kecewa.

Di hari ke-22, batang cabai Kayla hampir patah karena tertendang. Ia mengikatnya dengan lidi dan benang layangan. "Masih bisa hidup kok," katanya. Ia tersenyum lega ketika daun mudanya muncul kembali.

Akhir bulan, Kayla datang dengan wajah berbinar. Celengannya kosong, diganti dengan kamus kecil bersampul hijau. Ia menepuk sampulnya seperti menepuk punggung teman. "Banyak banget katanya, Kak," ujarnya terkekeh. Ia lalu membolak-balik halamannya, menunjuk kata-kata sulit, menyalin di bukunya.

Malam itu aku lewat warung. Kayla duduk di kursi plastik, kamusnya terbuka. Ibunya menghitung uang hasil dagangan. Ayahnya baru pulang kerja, sibuk mengelap sepatu. Radio tua memutar lagu lawas. Lampu neon bergoyang pelan. Dunia mereka sederhana, tapi penuh kebiasaan baik yang ditanam setiap hari.

Beberapa hari kemudian kampung kami kerja bakti. Anak-anak ikut mengecat garis lapangan, menanam bibit, menulis papan kecil bertuliskan "Buang Sampah pada Tempatnya." Kayla membawa kardus bekas untuk kuas, lalu mengajak teman-temannya mencuci kuas sampai bersih. "Biar besok nggak keras," katanya.

Di akhir acara, ketua RT memanggil beberapa anak ke depan. Ia bercerita tentang kebiasaan baik, bukan soal siapa juara kelas, melainkan anak-anak yang suka menolong, tepat waktu, atau berani minta maaf. Kayla dipanggil. Ia menunduk, menatap ujung sepatunya. Lalu berkata pelan, "Aku cuma ikut aja. Ibu sama Bapak ngajarin begitu. Teman-teman juga."

Sore itu, payung kuning Kayla tergantung di mushala, ujungnya masih patah. Tapi ia tetap dipakai setiap hujan datang. Sama seperti kebiasaan kecil anak-anak kampung ini: tidak selalu sempurna, kadang terlupa, kadang tersandung, tapi kalau dilakukan bersama-sama, bisa menjadi sesuatu yang menghangatkan.

Menjelang magrib, anak-anak membubarkan diri. Kayla menggulung tikar, Suci merapikan buku, Deno menendang bola plastiknya sebentar sebelum pulang, Ilham membawa sisa air di botol untuk menyiram cabainya, Bimo membagi potongan roti terakhir. Mereka melambaikan tangan sambil tertawa.

Aku berdiri di teras mushala, melihat mereka pergi satu per satu. Hujan belum turun, tapi aku tahu, saat hujan datang, payung kuning itu akan kembali terbuka. Sama seperti kebiasaan yang terus mereka rawat: sederhana, polos, tapi pelan-pelan membuat mereka tumbuh jadi anak-anak Indonesia hebat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun