Mohon tunggu...
Tresnaning Diah
Tresnaning Diah Mohon Tunggu... Penulis fiksi dan nonfiksi. Pencinta kata, pejalan sunyi, penyusun napas dari serpih-serpih cerita.

Perempuan yang percaya bahwa setiap luka punya kata, dan setiap kata bisa jadi ruang pulang. Menulis sudah menjadi panggilan hati sejak remaja, tapi baru satu tahun terakhir keberanian itu benar-benar diberi ruang untuk tumbuh dan bersuara. Baginya, menulis bukan hanya tentang mengisi halaman, tetapi menyusun ulang hidup, menemukan makna di balik kehilangan, keheningan, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan. Pernah berkarya di industri migas, kini meniti jalan sunyi sebagai perangkai kata. Ia menemukan pelipur bukan hanya dalam kalimat, tetapi juga dalam jejak Langkah, menapaki gunung saat hati merindukan ketenangan, atau sekadar menyelam ke dalam sunyi untuk memahami diri sendiri. Cerita-ceritanya hadir dari ruang paling personal: tentang cinta yang tak selesai, perempuan yang belajar berdiri lagi, dan dunia yang kadang terlalu keras namun tetap ingin dipeluk. Genre favorit: roman reflektif, slice of life, fantasi spiritual, dan kisah yang ditulis dengan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payung Kuning dan Celengan Ayam: Kisah Anak-Anak Hebat

1 September 2025   20:34 Diperbarui: 1 September 2025   20:34 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak Indonesia hebat (ilustrasi pribadi/tresnaningdiah)

Beberapa minggu kemudian, hujan turun lebih pagi. Mobil pustaka tidak datang. Jalanan becek, selokan meluap. Anak-anak tidak pulang. Mereka duduk di mushala, membuka buku bekas dari kotak plastik. Kayla menyodorkan payung kuningnya padaku. "Kak, baca aja dulu. Habis itu kita bantu Bu Nia di posyandu, ya?"

Kami membaca dalam bunyi hujan. Setelah dua puluh menit, Kayla berdiri. "Ayo, Kak, kita bisa bantuin."

Di posyandu, mereka sibuk dengan caranya masing-masing. Deno mengangkat kursi plastik, Suci menempel nomor antrian, Ilham mengatur payung untuk ibu-ibu, Bimo membawa gelas air putih. Mereka tidak sempurna, kadang ribut, kadang berebut, tapi tawa mereka membuat posyandu terasa lebih ringan.

Siang hari hujan reda. Kayla melilitkan payungnya dengan karet gelang. Ia menatap jalan yang masih tergenang. "Sayang mobilnya nggak datang." Lalu ia membuka celengan ayam, menghitung receh satu-satu. "Kurang tujuh ribu lagi," katanya sambil tersenyum kecil.

Minggu berikutnya, mobil pustaka datang tepat waktu. Anak-anak bersorak. Kayla meminjam dua buku: tentang pahlawan perempuan dan tanaman obat. Sebelum pulang, ia duduk sebentar mengajari adik kecil mengeja huruf vokal. "A... I... U..." Suaranya bercampur tawa. Setiap adik itu berhasil, Kayla mengangkat jempolnya tinggi-tinggi.

Di sekolah, kebiasaan anak-anak ini semakin terlihat. Suci yang rajin menulis ucapan terima kasih di bawah tugasnya. Bimo yang selalu membagi bekal. Deno yang mengingatkan teman agar tidak membuang plastik sembarangan. Ilham yang suka meminjamkan penggarisnya kepada siapa saja yang lupa membawa. Mereka tidak sadar, kebiasaan itu membuat kelas jadi lebih tertib dan nyaman.

Suatu Jumat, wali kelas mengajak berbagi bekal. Kayla membawa dua potong tempe goreng dan sepotong kecil telur dadar dari warung ibunya. Ia menunggu semua duduk, lalu memutar kotak bekalnya agar teman di kiri dan kanan bisa mengambil. Saat seorang teman lupa membawa bekal, Kayla menyodorkan kotaknya lebih lama. "Ambil aja, jangan malu." Seusai makan, mereka membereskan meja, memungut remah, dan mengembalikan sendok ke kantin.

Bulan itu, sekolah mengadakan kelas peduli lingkungan. Anak-anak diminta membawa benih dan merawatnya tiga puluh hari. Banyak yang memilih kacang hijau. Deno mencoba menanam jagung. Suci membawa bunga kertas dari halaman rumahnya. Bimo menanam tomat kecil. Ilham mencoba menumbuhkan daun bawang dari sisa dapur. Kayla membawa cabai rawit. "Soalnya di warung suka kehabisan cabai," katanya polos.

Setiap pagi mereka menyiram tanaman mereka. Ada yang tumbuh cepat, ada yang layu, ada yang butuh diganti. Deno hampir putus asa karena jagungnya tak kunjung tinggi, tapi anak-anak lain menyemangati. "Kalau gagal, coba lagi," kata Ilham. Itu jadi kebiasaan baru: saling menguatkan ketika salah satu teman kecewa.

Di hari ke-22, batang cabai Kayla hampir patah karena tertendang. Ia mengikatnya dengan lidi dan benang layangan. "Masih bisa hidup kok," katanya. Ia tersenyum lega ketika daun mudanya muncul kembali.

Akhir bulan, Kayla datang dengan wajah berbinar. Celengannya kosong, diganti dengan kamus kecil bersampul hijau. Ia menepuk sampulnya seperti menepuk punggung teman. "Banyak banget katanya, Kak," ujarnya terkekeh. Ia lalu membolak-balik halamannya, menunjuk kata-kata sulit, menyalin di bukunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun