Mohon tunggu...
Tresnaning Diah
Tresnaning Diah Mohon Tunggu... Penulis fiksi dan nonfiksi. Pencinta kata, pejalan sunyi, penyusun napas dari serpih-serpih cerita.

Perempuan yang percaya bahwa setiap luka punya kata, dan setiap kata bisa jadi ruang pulang. Menulis sudah menjadi panggilan hati sejak remaja, tapi baru satu tahun terakhir keberanian itu benar-benar diberi ruang untuk tumbuh dan bersuara. Baginya, menulis bukan hanya tentang mengisi halaman, tetapi menyusun ulang hidup, menemukan makna di balik kehilangan, keheningan, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan. Pernah berkarya di industri migas, kini meniti jalan sunyi sebagai perangkai kata. Ia menemukan pelipur bukan hanya dalam kalimat, tetapi juga dalam jejak Langkah, menapaki gunung saat hati merindukan ketenangan, atau sekadar menyelam ke dalam sunyi untuk memahami diri sendiri. Cerita-ceritanya hadir dari ruang paling personal: tentang cinta yang tak selesai, perempuan yang belajar berdiri lagi, dan dunia yang kadang terlalu keras namun tetap ingin dipeluk. Genre favorit: roman reflektif, slice of life, fantasi spiritual, dan kisah yang ditulis dengan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Payung Kuning dan Celengan Ayam: Kisah Anak-Anak Hebat

1 September 2025   20:34 Diperbarui: 1 September 2025   20:34 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak Indonesia hebat (ilustrasi pribadi/tresnaningdiah)

Malam itu aku lewat warung. Kayla duduk di kursi plastik, kamusnya terbuka. Ibunya menghitung uang hasil dagangan. Ayahnya baru pulang kerja, sibuk mengelap sepatu. Radio tua memutar lagu lawas. Lampu neon bergoyang pelan. Dunia mereka sederhana, tapi penuh kebiasaan baik yang ditanam setiap hari.

Beberapa hari kemudian kampung kami kerja bakti. Anak-anak ikut mengecat garis lapangan, menanam bibit, menulis papan kecil bertuliskan "Buang Sampah pada Tempatnya." Kayla membawa kardus bekas untuk kuas, lalu mengajak teman-temannya mencuci kuas sampai bersih. "Biar besok nggak keras," katanya.

Di akhir acara, ketua RT memanggil beberapa anak ke depan. Ia bercerita tentang kebiasaan baik, bukan soal siapa juara kelas, melainkan anak-anak yang suka menolong, tepat waktu, atau berani minta maaf. Kayla dipanggil. Ia menunduk, menatap ujung sepatunya. Lalu berkata pelan, "Aku cuma ikut aja. Ibu sama Bapak ngajarin begitu. Teman-teman juga."

Sore itu, payung kuning Kayla tergantung di mushala, ujungnya masih patah. Tapi ia tetap dipakai setiap hujan datang. Sama seperti kebiasaan kecil anak-anak kampung ini: tidak selalu sempurna, kadang terlupa, kadang tersandung, tapi kalau dilakukan bersama-sama, bisa menjadi sesuatu yang menghangatkan.

Menjelang magrib, anak-anak membubarkan diri. Kayla menggulung tikar, Suci merapikan buku, Deno menendang bola plastiknya sebentar sebelum pulang, Ilham membawa sisa air di botol untuk menyiram cabainya, Bimo membagi potongan roti terakhir. Mereka melambaikan tangan sambil tertawa.

Aku berdiri di teras mushala, melihat mereka pergi satu per satu. Hujan belum turun, tapi aku tahu, saat hujan datang, payung kuning itu akan kembali terbuka. Sama seperti kebiasaan yang terus mereka rawat: sederhana, polos, tapi pelan-pelan membuat mereka tumbuh jadi anak-anak Indonesia hebat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun