Mohon tunggu...
Tomy Revaldy
Tomy Revaldy Mohon Tunggu... Mahasiswa Kelas Pekerja

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelukan Mentari

23 Februari 2024   14:44 Diperbarui: 23 Februari 2024   14:53 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu, seperti biasa aku sedang menikmati indahnya sunset. Aku memandanginya dengan penuh kehangatan, aku rasa kami berbagi kehangatan yang sama, kuharap. Tak terhitung sudah berapa kali aku melakukan hal ini, mungkin bagi sebagian yang lain ini adalah hal konyol untuk dilakukan. Mereka lebih senang untuk memandangi kotoran yang tidak disiram di toilet atau mungkin memandangi bangkai tikus korban tabrak lari.

Suara kendaraan yang lalu lalang pun selalu menemaniku tiap sore, aku suka disini karena disini tidaklah terlalu ramai, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat tiap beberapa menit. Suara nyaring mangkok tukang bakso yang lewat dan suara tawa anak-anak yang bermain juga menambah kenikmatan setiap soreku dari atas sini. Kalau boleh aku ingin disini selamanya.

"Sudah kuduga kamu pasti ada di atas sini."

Aku mendengar suara yang sangat kukenal dan langsung menunduk kebawah untuk memastikan.

"Ah.. hai Rud."

Dia adalah Rudi, penunggu rumah di seberang jalan. Rumah itu sudah lama ditinggal oleh pemiliknya dan Rudi menempati rumah itu untuk waktu yang cukup lama. Rumah dengan gaya sederhana yang di dominasi dengan nuansa kayu membuat rumah itu terlihat cukup menanangkan jika dilihat dari sini. Rudi seringkali mengajakku untuk singgah di rumah yang ditungguinya, namun aku selalu menolak dengan alasan yang aku sendiri tidak tahu mengapa. Kadang juga dia datang untuk menemuiku disini kalau kalau sedang merasa bosan.

"Naiklah kesini, Rud!"

Dengan sekedipan mata saja Rudi sudah berada di sampingku di atas sini. Tangan dan kakinya yang diikatkan pada sebuah kain membuatnya terlihat sangat lucu. Ia membuat dedaunan di sekitarnya jatuh karena kakinya yang diikat mulai berayun ke depan dan belakang. Entah mengapa aku tidak mendapat pakaian seperti yang ia kenakan. Namun aku lebih suka begini, aku lebih merasa cantik dengan rambut hitam panjang dan gaun putih ini.

"Jadi kenapa kamu datang menemuiku kesini?"

"Ya, seperti biasa. Aku merasa sangat bosan jika terus berada di rumah itu sendirian. mengapa kamu tidak mau menemaniku di sana?"

"Entahlah, Rud. Aku merasa ada yang aneh dengan rumah itu."

"Aneh? Aku rasa kamu yang aneh. Setiap sore kamu tidak pernah lupa untuk menatap matahari yang sedang tenggelam itu. lagipula, kamu tidak akan pernah merasakan kehangatannya."

"Ah, kamu ini. Kamu tidak akan pernah mengerti betapa indahnya keajaiban dunia yang bersinar terang ini."

"Indah? Memang aneh kamu ini, kamu ini beneran sudah mati kan?" tanya Rudi keheranan.

"Terkadang matahari yang tenggelam mengingatkanku akan kematian. Kehangatan yang selama ini ia miliki menghilang begitu saja dan hanya tersisa dingin dan sepi."

Matahari mulai tenggelam ditelan bumi, perlahan mulai menarik selimut cahayanya. Jingganya langit telah berganti menjadi hitam yang kelam. Kehangatan pun sudah mulai memudar. Aku tidak sabar menunggu esok hari untuk menikmati keindahannya lagi.

Hari sudah mulai berganti, ayam jago melengkingkan suaranya dengan bangga, cahaya matahari menyinari sudut-sudut kota dan aku duduk di pohon ini menikmati kesendirianku lagi. Kendaraan lalu lalang di sepanjang jalan dan sebuah taksi berwarna biru berhenti tepat di depan rumah yang ditunggui oleh Rudi. Seorang pria keluar dari belakang mobil dan memandangi rumah itu dengan seksama, sementara si sopir taksi sibuk mengeluarkan beberapa kopor dari dalam bagasi sebelelum akhirnya ia meninggalkan pria itu sendirian.

Pria itu memiliki tubuh yang tinggi tegap dengan kulit coklat matang dan hidung mancung menyembul seperti jamur merang. Perlahan ia mulai membuka gerbang hitam rumah itu dan masuk ke dalam. Nampaknya ia adalah penghuni baru rumah itu dan aku penasaran apa yang akan dilakukan Rudi kepadanya. Dengan rasa penasaran yang tinggi, aku datang untuk menemui Rudi di Rumah itu.

"Rudiiii..! kamu ada dimana?"

Aku mencari Rudi dengan seksama di rumah itu hingga beberapa menit lamanya.
Kucari ke kamar tidur tidak ada, di ruang tamu tidak ada, di dapur pun ternyata tidak ada. Beberapa lamanya aku berteriak memanggil manggil Rudi namun ia tidak kunjung menjawab. Aku sempat dibuat khawatir karenanya, hingga akhirnya ia menunjukkan batang hidungnya yang disumbat kapas itu tepat dihadapanku.

"Rudi!! Kamu bikin aku kaget saja, dari mana saja sih kamu?! Aku panggil-panggil ngga jawab." tanyaku dengan sedikit nada kesal.

"Aku baru saja keluar mencarimu." Jawab Rudi.

"Mencariku? Untuk apa?" tanyaku penasaran.

"Ada manusia yang kemari, kupikir dia adalah penghuni baru, kupikir kau juga akan tertarik akan hal ini dan nampaknya dugaanku tidak salah."

Aku tersenyum lebar mendengar perkataan Rudi. Memang betul aku tertarik, tapi lebih tepatnya aku tertarik dengan apa yang akan dilakukan pria yang dibungkus kain ini kepadanya.

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan kepadanya Rud?" tanyaku dengan penuh semangat.

"Kupikir aku punya ide yang cukup bagus."

Kami memperhatikan orang baru ini sedang membersihkan rumah ini dengan telaten dan menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksi jahil kami. Debu-debu yang sudah menggunung disapu bersih olehnya, jaring laba-laba di tiap sudut ruangan pun tak luput dari tangannya. Tangannya bermain dengan terampil menyemprot dan mengusap kaca yang sudah lama tak terjamah itu.    

Namun, sebelum kami melancarkan aksi jahil kami, pria ini tiba-tiba mematung. Cukup lama sampai kami pikir dia mungkin sudah mati juga. Namun tidak, aku melihat wajahnya yang lesu itu mulai meneteskan air dari mata melalui pantulan kaca jendela. Ia sedang menangis. Tangisan yang awalnya hening mulai pecah dan meledak. Layaknya orang yang sedang merasakan sakit yang teramat sangat, layaknya ada duri tajam yang menusuk jantungnya. Air matanya semakin lama semakin turun deras dan tak terbendung. Aku dapat merasakan kesedihan yang mendalam sedang merasukinya saat ini.

Entah mengapa aku jadi bersimpati padanya, perlahan aku menghampiri dan berdiri di belakangnya. Tanpa sadar tanganku mulai bergerak dan memeluknya dari belakang. Aku tidak tahu apakah ini dapat membuat hatinya lebih baik atau tidak, aku merasa harus membuat perasaanya menjadi lebih baik. Tak berapa lama kemudian, ia berhenti menangis. Suasana berubah menjadi tenang kembali. Cahaya matahari menyirami kami dari balik jendela dan entah kehangatan ini aku dapat dari mana. Aku bisa merasakan kehangatan ini, kehangatan yang selalu aku cari.

Dari balik saku celananya, ia mengeluarkan sebuah ponsel yang kemudian memperlihatkan foto perempuan. Aku mengenali perempuan itu, dia adalah aku. Aku tertegun untuk beberapa saat, tak percaya dengan apa yang aku lihat. Kepalaku tidak dapat memahami apa yang baru saja terjadi. Aku mencoba mengingat apa hubunganku dengan pria ini. Sampai akhirnya pria itu mulai berbicara dan menghentikan kebingunganku.

"Maafkan aku Mentari, kamu harus menderita di sini sendirian. Maafkan aku yang tidak bisa menemanimu hingga saat-saat terakhir. Sekarang keadaan sudah membaik di sini, kamu tidak perlu khawatir. Kamu tahu? setiap saat aku selalu menyesal karena pergi meninggalkanmu waktu itu, andai saja aku di sini, mungkin aku bisa menjagamu atau setidaknya bisa pergi denganmu. Berulang kali terpikir olehku untuk menyusulmu, namun aku tahu kau pasti akan sangat marah setelahnya. Aku akan terus melanjutkan mimpi-mimpi kita, aku akan pastikan dirimu bahagia di atas sana. Aku merindukanmu, aku rindu tiap kali kau memelukku di kala aku sedih. Aku rindu menikmati indahnya sunset bersamamu, aku rindu bagaimana senyummu dapat menceriakan hari-hariku. Aku rindu kamu."

Aku ingat semuanya, aku ingat Rian suamiku. Aku tak pernah menyangka ini akan terjadi kepadaku, aku tak pernah menyangka hidupku akan berakhir seperti ini. aku tak pernah menyangka kematianku bukanlah menjadi akhir hidupku. Sudah dua tahun ini kurasa aku menjadi arwah gentayangan, tak tahu arah dan tujuan setelah kepergianku di dunia. Namun kini aku ingat semuanya, hatiku terasa lebih tenang dari sebelumnya. Saat aku terdiam karena pikiran-pikiran yang kembali muncul, Rudi mengatakan sesuatu dari balik punggungku.

"Saat itu sedang terjadi sebuah wabah virus di sini, kau menjadi salah satu korbannya, mungkin yang pertama. Virus yang sangat mengerikan, bahkan bisa menyebar hanya dengan bersentuhan. Suamimu sedang ke luar negeri untuk bekerja dan tidak bisa pulang karena virus itu. Ia bahkan baru mengetahui sakit yang kau derita setelah kau pergi. Namun bagaimanapun juga, aku iri dengan kalian. Kalian adalah pasangan yang sangat bahagia saat itu. Aku sangat menikmati bagaimana kalian selalu bercanda tawa bersama, membantu satu sama lain. Namun kini sekarang kau sudah mengingatnya, itu berarti kau sudah bisa tenang. Aku yakin suamimu adalah pria yang baik dan dia tidak akan mengecewakanmu."

"Tapi mengapa kau tidak mengatakannya padaku dari awal?" Tanyaku pada Rudi.

"Aku tidak ingin membuatmu sedih, aku juga berpikir bahwa suamimu tidak akan kembali lagi. Tapi sekarang aku yakin  bahwa ia memang benar-benar mencintaimu."

Dan benar saja, perasaanku sekarang menjadi sangat tenang. Sesuatu yang mengganjal itu sekarang telah lenyap.
"Kau benar Rud, aku lega sekarang. Aku harap kamu juga bisa merasakan ketenangan ini."

Kuharap aku dapat bertemu lagi dengan orang yang sangat kucinta ini dan aku akan selalu menunggunya di sini. Untuk terakhir kalinya aku memeluk suamiku lagi, kali ini dengan pelukan yang lebih erat dari sebelumnya, lebih hangat dari biasanya yang aku rasakan semasa hidup. Kehangatan yang aku rindukan. Hati kami berpadu dalam satu ikatan.

"Aku mencintaimu."
"Aku mencintaimu."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun