Mohon tunggu...
Tomy Revaldy
Tomy Revaldy Mohon Tunggu... Mahasiswa Kelas Pekerja

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelukan Mentari

23 Februari 2024   14:44 Diperbarui: 23 Februari 2024   14:53 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mencariku? Untuk apa?" tanyaku penasaran.

"Ada manusia yang kemari, kupikir dia adalah penghuni baru, kupikir kau juga akan tertarik akan hal ini dan nampaknya dugaanku tidak salah."

Aku tersenyum lebar mendengar perkataan Rudi. Memang betul aku tertarik, tapi lebih tepatnya aku tertarik dengan apa yang akan dilakukan pria yang dibungkus kain ini kepadanya.

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan kepadanya Rud?" tanyaku dengan penuh semangat.

"Kupikir aku punya ide yang cukup bagus."

Kami memperhatikan orang baru ini sedang membersihkan rumah ini dengan telaten dan menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksi jahil kami. Debu-debu yang sudah menggunung disapu bersih olehnya, jaring laba-laba di tiap sudut ruangan pun tak luput dari tangannya. Tangannya bermain dengan terampil menyemprot dan mengusap kaca yang sudah lama tak terjamah itu.    

Namun, sebelum kami melancarkan aksi jahil kami, pria ini tiba-tiba mematung. Cukup lama sampai kami pikir dia mungkin sudah mati juga. Namun tidak, aku melihat wajahnya yang lesu itu mulai meneteskan air dari mata melalui pantulan kaca jendela. Ia sedang menangis. Tangisan yang awalnya hening mulai pecah dan meledak. Layaknya orang yang sedang merasakan sakit yang teramat sangat, layaknya ada duri tajam yang menusuk jantungnya. Air matanya semakin lama semakin turun deras dan tak terbendung. Aku dapat merasakan kesedihan yang mendalam sedang merasukinya saat ini.

Entah mengapa aku jadi bersimpati padanya, perlahan aku menghampiri dan berdiri di belakangnya. Tanpa sadar tanganku mulai bergerak dan memeluknya dari belakang. Aku tidak tahu apakah ini dapat membuat hatinya lebih baik atau tidak, aku merasa harus membuat perasaanya menjadi lebih baik. Tak berapa lama kemudian, ia berhenti menangis. Suasana berubah menjadi tenang kembali. Cahaya matahari menyirami kami dari balik jendela dan entah kehangatan ini aku dapat dari mana. Aku bisa merasakan kehangatan ini, kehangatan yang selalu aku cari.

Dari balik saku celananya, ia mengeluarkan sebuah ponsel yang kemudian memperlihatkan foto perempuan. Aku mengenali perempuan itu, dia adalah aku. Aku tertegun untuk beberapa saat, tak percaya dengan apa yang aku lihat. Kepalaku tidak dapat memahami apa yang baru saja terjadi. Aku mencoba mengingat apa hubunganku dengan pria ini. Sampai akhirnya pria itu mulai berbicara dan menghentikan kebingunganku.

"Maafkan aku Mentari, kamu harus menderita di sini sendirian. Maafkan aku yang tidak bisa menemanimu hingga saat-saat terakhir. Sekarang keadaan sudah membaik di sini, kamu tidak perlu khawatir. Kamu tahu? setiap saat aku selalu menyesal karena pergi meninggalkanmu waktu itu, andai saja aku di sini, mungkin aku bisa menjagamu atau setidaknya bisa pergi denganmu. Berulang kali terpikir olehku untuk menyusulmu, namun aku tahu kau pasti akan sangat marah setelahnya. Aku akan terus melanjutkan mimpi-mimpi kita, aku akan pastikan dirimu bahagia di atas sana. Aku merindukanmu, aku rindu tiap kali kau memelukku di kala aku sedih. Aku rindu menikmati indahnya sunset bersamamu, aku rindu bagaimana senyummu dapat menceriakan hari-hariku. Aku rindu kamu."

Aku ingat semuanya, aku ingat Rian suamiku. Aku tak pernah menyangka ini akan terjadi kepadaku, aku tak pernah menyangka hidupku akan berakhir seperti ini. aku tak pernah menyangka kematianku bukanlah menjadi akhir hidupku. Sudah dua tahun ini kurasa aku menjadi arwah gentayangan, tak tahu arah dan tujuan setelah kepergianku di dunia. Namun kini aku ingat semuanya, hatiku terasa lebih tenang dari sebelumnya. Saat aku terdiam karena pikiran-pikiran yang kembali muncul, Rudi mengatakan sesuatu dari balik punggungku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun