Sama-sama Menganggap Nuklir sebagai Jaminan Keamanan. Bagi Pyongyang dan Teheran, senjata nuklir (atau setidaknya kemampuan untuk membuatnya) bukanlah untuk menyerang, melainkan sebuah polis asuransi jiwa. Itu adalah satu-satunya hal yang mereka yakini bisa mencegah AS melakukan invasi atau serangan besar-besaran untuk menggulingkan rezim mereka.
Ketika AS benar-benar menyerang fasilitas nuklir Iran, polis asuransi itu seolah disobek di depan mata Korea Utara. Pesan yang mereka tangkap sangat jelas dan mengerikan, "Ternyata, punya atau sedang membuat program nuklir tidak membuatmu kebal. Amerika tetap bisa menyerang jika mereka mau."
Inilah inti dari kemarahan Korea Utara. Ini bukan tentang Iran. Ini tentang kelangsungan hidup rezim mereka sendiri.
Serangan ke Iran membuktikan ketakutan terbesar mereka, bahwa AS, di bawah kepemimpinan siapa pun, pada akhirnya tidak bisa ditoleransi memiliki musuh dengan kemampuan nuklir. Presiden AS Donald Trump, dalam unggahan media sosialnya, seolah mengkonfirmasi hal ini dengan nada yang sangat gamblang.
"Kerusakan besar terjadi di semua lokasi nuklir di Iran... Kehancuran adalah istilah yang akurat!" tulisnya, tanpa ragu sedikit pun.
Bagi Korea Utara, kalimat itu bukan lagi ditujukan untuk Iran. Kalimat itu terasa seperti bisikan ancaman yang ditujukan langsung ke telinga mereka.
Gema Perang yang Belum Usai di Semenanjung Korea
Konteks ini menjadi semakin tegang jika kita menarik garis lurus dari Teheran ke Semenanjung Korea. Korea Utara bukanlah negara biasa. Mereka secara teknis masih berperang. Perang Korea tahun 1950-an hanya berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Artinya, di perbatasan mereka, berdiri puluhan ribu tentara Korea Selatan yang didukung penuh oleh sekitar 30.000 pasukan Amerika Serikat. Setiap hari, mereka hidup dalam bayang-bayang potensi konflik militer skala penuh.
Puluhan hulu ledak nuklir yang mereka kembangkan dengan susah payah selama bertahun-tahun adalah satu-satunya kartu truf yang mereka miliki untuk mencegah skenario terburuk itu terjadi. Senjata itu adalah benteng pertahanan terakhir mereka.
Ketika benteng pertahanan negara lain yang punya filosofi serupa (Iran) berhasil ditembus, seluruh strategi pertahanan Korea Utara menjadi goyah. Pernyataan keras mereka bukan hanya kecaman, itu adalah sebuah peringatan. Sebuah pesan yang bisa diterjemahkan menjadi:
"Kami melihat apa yang kalian lakukan pada Iran. Jangan pernah berpikir untuk mencoba hal yang sama di sini. Tidak seperti mereka, kami sudah memiliki senjatanya, dan kami tidak akan ragu untuk menggunakannya jika kami terpojok. Kalian akan membayar harga yang jauh lebih mahal."