Ada dua orang di sebuah lingkungan yang sama-sama tidak disukai oleh ketua RT yang paling berkuasa. Keduanya tahu, suatu saat, sang ketua RT bisa datang menggedor pintu mereka kapan saja. Suatu malam, salah satu dari mereka benar-benar didatangi. Rumahnya digeledah dengan alasan yang menurut ketua RT sangat sah.
Apa yang akan dilakukan oleh orang kedua yang melihat kejadian itu dari balik tirai jendelanya? Apakah dia akan diam saja? Tentu tidak. Dia mungkin akan jadi yang paling pertama berteriak, "Ini pelanggaran! Ini tidak bisa dibiarkan!"
Bukan karena dia begitu peduli dengan tetangganya itu. Tapi karena dia tahu betul, hari ini rumah tetangganya, besok bisa jadi rumahnya sendiri.
Kira-kira, analogi sederhana inilah yang sedang terjadi di panggung geopolitik dunia saat ini. Ketika Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan mengejutkan ke fasilitas nuklir Iran pada Minggu, 22 Juni 2025, dunia menahan napas. Namun, ada satu suara yang berteriak paling kencang dari sudut yang tak terduga, Korea Utara.
Pyongyang mengeluarkan kecaman yang luar biasa keras. Pertanyaannya bukan lagi "apa yang mereka katakan?", melainkan "mengapa mereka begitu peduli?" Jawabannya jauh lebih dalam dan menakutkan daripada sekadar solidaritas antarnegara yang sama-sama menjadi musuh bebuyutan Washington. Ini adalah cerita tentang cermin, ketakutan, dan sebuah peringatan yang sangat jelas.
Kecaman keras Korea Utara atas serangan AS ke Iran bukan soal solidaritas. Ini adalah cermin ketakutan mereka, khawatir menjadi target selanjutnya. - Tiyarman Gulo
Teriakan Keras dari Pyongyang
Secara resmi, pernyataan yang dirilis oleh kantor berita negara KCNA pada Senin, 23 Juni 2025, terdengar seperti buku teks diplomasi perlawanan. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Korea Utara, dengan lantang, menyebut serangan AS sebagai tindakan barbar yang melanggar prinsip paling sakral dalam hubungan internasional: kedaulatan negara.
"Republik Rakyat Demokratik Korea mengecam keras serangan terhadap Iran oleh AS yang sangat melanggar Piagam PBB terkait dengan kedaulatan," begitu bunyi pernyataan tersebut.
Sederhananya, Korea Utara bilang begini, "Hei, dunia! Amerika baru saja masuk ke 'rumah' orang lain tanpa izin dan menghancurkan barang-barangnya. Aturan main macam apa ini?"
Bagi negara seperti Korea Utara yang hidupnya sangat bergantung pada konsep "jangan ikut campur urusan dalam negeri kami," serangan AS ke Iran adalah sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Mereka melihatnya sebagai preseden berbahaya. Jika negara sekuat dan sebesar Iran saja bisa diserang fasilitas vitalnya, lalu siapa lagi yang aman?
Tapi, cerita tidak berhenti di situ. Pyongyang kemudian melakukan manuver cerdas dengan melempar bola panas ke pemain lain di lapangan.
Melempar Bola Panas, "Ini Semua Gara-gara Israel!"
Dalam manuver politik yang khas, Korea Utara tidak hanya menyalahkan Amerika Serikat. Mereka menunjuk satu biang keladi lain yang menurut mereka menjadi pemicu semua kekacauan di Timur Tengah.