Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korea Utara 'Ngamuk' Saat AS Hajar Fasilitas Nuklir Teheran

24 Juni 2025   05:00 Diperbarui: 23 Juni 2025   17:08 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kim Jong Un saat berpidato di Universitas Pertahanan Nasional peringati 60 tahun berdirinya kampus itu, 7 Oktober 2024. AFP PHOTO/KCNA via KNS 

Ada dua orang di sebuah lingkungan yang sama-sama tidak disukai oleh ketua RT yang paling berkuasa. Keduanya tahu, suatu saat, sang ketua RT bisa datang menggedor pintu mereka kapan saja. Suatu malam, salah satu dari mereka benar-benar didatangi. Rumahnya digeledah dengan alasan yang menurut ketua RT sangat sah.

Apa yang akan dilakukan oleh orang kedua yang melihat kejadian itu dari balik tirai jendelanya? Apakah dia akan diam saja? Tentu tidak. Dia mungkin akan jadi yang paling pertama berteriak, "Ini pelanggaran! Ini tidak bisa dibiarkan!"

Bukan karena dia begitu peduli dengan tetangganya itu. Tapi karena dia tahu betul, hari ini rumah tetangganya, besok bisa jadi rumahnya sendiri.

Kira-kira, analogi sederhana inilah yang sedang terjadi di panggung geopolitik dunia saat ini. Ketika Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan mengejutkan ke fasilitas nuklir Iran pada Minggu, 22 Juni 2025, dunia menahan napas. Namun, ada satu suara yang berteriak paling kencang dari sudut yang tak terduga, Korea Utara.

Pyongyang mengeluarkan kecaman yang luar biasa keras. Pertanyaannya bukan lagi "apa yang mereka katakan?", melainkan "mengapa mereka begitu peduli?" Jawabannya jauh lebih dalam dan menakutkan daripada sekadar solidaritas antarnegara yang sama-sama menjadi musuh bebuyutan Washington. Ini adalah cerita tentang cermin, ketakutan, dan sebuah peringatan yang sangat jelas.

Kecaman keras Korea Utara atas serangan AS ke Iran bukan soal solidaritas. Ini adalah cermin ketakutan mereka, khawatir menjadi target selanjutnya. - Tiyarman Gulo

Teriakan Keras dari Pyongyang

Secara resmi, pernyataan yang dirilis oleh kantor berita negara KCNA pada Senin, 23 Juni 2025, terdengar seperti buku teks diplomasi perlawanan. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Korea Utara, dengan lantang, menyebut serangan AS sebagai tindakan barbar yang melanggar prinsip paling sakral dalam hubungan internasional: kedaulatan negara.

"Republik Rakyat Demokratik Korea mengecam keras serangan terhadap Iran oleh AS yang sangat melanggar Piagam PBB terkait dengan kedaulatan," begitu bunyi pernyataan tersebut.

Sederhananya, Korea Utara bilang begini, "Hei, dunia! Amerika baru saja masuk ke 'rumah' orang lain tanpa izin dan menghancurkan barang-barangnya. Aturan main macam apa ini?"

Bagi negara seperti Korea Utara yang hidupnya sangat bergantung pada konsep "jangan ikut campur urusan dalam negeri kami," serangan AS ke Iran adalah sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Mereka melihatnya sebagai preseden berbahaya. Jika negara sekuat dan sebesar Iran saja bisa diserang fasilitas vitalnya, lalu siapa lagi yang aman?

Tapi, cerita tidak berhenti di situ. Pyongyang kemudian melakukan manuver cerdas dengan melempar bola panas ke pemain lain di lapangan.

Melempar Bola Panas, "Ini Semua Gara-gara Israel!"

Dalam manuver politik yang khas, Korea Utara tidak hanya menyalahkan Amerika Serikat. Mereka menunjuk satu biang keladi lain yang menurut mereka menjadi pemicu semua kekacauan di Timur Tengah.

"Ketegangan regional yang sedang berlangsung adalah produk yang tak terelakkan yang dibawa oleh keberanian Israel yang ceroboh," tambah juru bicara itu.

Mengapa nama Israel diseret-seret? Ini adalah strategi dua lapis yang brilian.

Pertama, ini adalah cara untuk menggalang dukungan dari dunia Arab dan negara-negara Muslim yang memiliki sentimen anti-Israel. Dengan menyalahkan Israel, Korea Utara mencoba memposisikan diri bukan hanya sebagai pembela Iran, tetapi sebagai pembela semua negara yang merasa terancam oleh aliansi AS-Israel.

Kedua, dan yang lebih penting, ini adalah cara untuk mengatakan, "Lihat, bukan kami atau Iran yang menjadi pembuat onar. Pelaku sebenarnya adalah sekutu-sekutu Amerika yang agresif dan ekspansif. Merekalah yang memancing keributan!"

Ini adalah teknik pengalihan isu klasik yang bertujuan untuk mendelegitimasi tindakan AS. Seolah-olah AS bukan polisi dunia, melainkan hanya alat bagi kepentingan sekutunya yang "sembrono".

Namun, baik kecaman terhadap AS maupun tudingan pada Israel hanyalah sampul dari sebuah buku yang isinya jauh lebih personal bagi rezim Kim Jong Un.

Iran adalah Cermin Raksasa bagi Korea Utara

Sekarang, mari kita bicara tentang alasan yang sebenarnya. Alasan yang membuat para petinggi di Pyongyang mungkin tidak bisa tidur nyenyak setelah mendengar kabar serangan itu.

Korea Utara melihat Iran, dan mereka melihat diri mereka sendiri di cermin.

Bayangkan persamaannya,

Sama-sama Musuh Bebuyutan AS, Keduanya telah puluhan tahun berada di bawah sanksi berat dan tekanan politik dari Washington.

Sama-sama Punya Ambisi Nuklir, Iran terus mengembangkan program nuklirnya (yang mereka klaim untuk tujuan damai), sementara Korea Utara sudah terang-terangan menjadi negara bersenjata nuklir.

Sama-sama Menganggap Nuklir sebagai Jaminan Keamanan. Bagi Pyongyang dan Teheran, senjata nuklir (atau setidaknya kemampuan untuk membuatnya) bukanlah untuk menyerang, melainkan sebuah polis asuransi jiwa. Itu adalah satu-satunya hal yang mereka yakini bisa mencegah AS melakukan invasi atau serangan besar-besaran untuk menggulingkan rezim mereka.

Ketika AS benar-benar menyerang fasilitas nuklir Iran, polis asuransi itu seolah disobek di depan mata Korea Utara. Pesan yang mereka tangkap sangat jelas dan mengerikan, "Ternyata, punya atau sedang membuat program nuklir tidak membuatmu kebal. Amerika tetap bisa menyerang jika mereka mau."

Inilah inti dari kemarahan Korea Utara. Ini bukan tentang Iran. Ini tentang kelangsungan hidup rezim mereka sendiri.

Serangan ke Iran membuktikan ketakutan terbesar mereka, bahwa AS, di bawah kepemimpinan siapa pun, pada akhirnya tidak bisa ditoleransi memiliki musuh dengan kemampuan nuklir. Presiden AS Donald Trump, dalam unggahan media sosialnya, seolah mengkonfirmasi hal ini dengan nada yang sangat gamblang.

"Kerusakan besar terjadi di semua lokasi nuklir di Iran... Kehancuran adalah istilah yang akurat!" tulisnya, tanpa ragu sedikit pun.

Bagi Korea Utara, kalimat itu bukan lagi ditujukan untuk Iran. Kalimat itu terasa seperti bisikan ancaman yang ditujukan langsung ke telinga mereka.

Gema Perang yang Belum Usai di Semenanjung Korea

Konteks ini menjadi semakin tegang jika kita menarik garis lurus dari Teheran ke Semenanjung Korea. Korea Utara bukanlah negara biasa. Mereka secara teknis masih berperang. Perang Korea tahun 1950-an hanya berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.

Artinya, di perbatasan mereka, berdiri puluhan ribu tentara Korea Selatan yang didukung penuh oleh sekitar 30.000 pasukan Amerika Serikat. Setiap hari, mereka hidup dalam bayang-bayang potensi konflik militer skala penuh.

Puluhan hulu ledak nuklir yang mereka kembangkan dengan susah payah selama bertahun-tahun adalah satu-satunya kartu truf yang mereka miliki untuk mencegah skenario terburuk itu terjadi. Senjata itu adalah benteng pertahanan terakhir mereka.

Ketika benteng pertahanan negara lain yang punya filosofi serupa (Iran) berhasil ditembus, seluruh strategi pertahanan Korea Utara menjadi goyah. Pernyataan keras mereka bukan hanya kecaman, itu adalah sebuah peringatan. Sebuah pesan yang bisa diterjemahkan menjadi:

"Kami melihat apa yang kalian lakukan pada Iran. Jangan pernah berpikir untuk mencoba hal yang sama di sini. Tidak seperti mereka, kami sudah memiliki senjatanya, dan kami tidak akan ragu untuk menggunakannya jika kami terpojok. Kalian akan membayar harga yang jauh lebih mahal."

Bukan Komentar Biasa, Ini Adalah Peringatan Global

Pada akhirnya, komentar Korea Utara atas serangan AS terhadap Iran adalah sebuah drama geopolitik yang kompleks. Di permukaan, ini adalah tentang solidaritas dan kecaman atas pelanggaran hukum internasional.

Namun, jika kita gali lebih dalam, ini adalah jeritan ketakutan dari sebuah rezim yang melihat skenario kiamatnya dimainkan di negara lain. Ini adalah pengingat bahwa di dunia di mana kekuatan besar bisa bertindak sesuka hati, negara-negara yang lebih kecil dan terisolasi akan melakukan apa pun untuk bertahan hidup.

Pernyataan dari Pyongyang ini bukanlah sekadar catatan kaki dalam berita utama tentang Iran. Ini adalah babak baru yang menegangkan dalam permainan catur global. Ini adalah peringatan bahwa tindakan di satu sudut dunia dapat menimbulkan getaran hebat di sudut dunia yang lain, membangunkan raksasa-raksasa yang sedang tertidur dan membuat perdamaian dunia yang sudah rapuh menjadi semakin tipis. Dan kita semua adalah penontonnya.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun