Antre menjadi topik yang ingin aku bahas pada tulisan kali ini. Sering kali aku menghadiri acara resepsi perkawinan dimana di lokasi tersebut berkumpul sejumlah besar tamu undangan. Para tamu biasanya akan mengantre untuk mengucapkan selamat kepada pengantin dan mencicipi hidangan pesta yang telah disediakan oleh pemilik hajatan.Â
Pemandu acara biasanya akan menginformasikan tata cara pelaksanaan dari awal kegiatan hingga akhir acara. Namun pada kenyataannya hal tersebut sering diabaikan sehingga terjadi penumpukan dan ketertiban yang berantakan.
Budaya antre ini sebenarnya bertujuan untuk menciptakan keteraturan, ketertiban menunggu giliran yang menunjukkan rasa kedisiplinan, saling menghormati dan menghargai sehingga terlihat karakter yang hebat dan patut dikagumi.
Di kota-kota besar negara lain seperti Jepang dan Singapura, budaya antre ini sudah demikian hebat di mata dunia. Budaya ini tertanam kuat karena adanya pendidikan kedisiplinan sejak dini dan nilai sosial yang menjunjung tinggi kepentingan bersama.
Lalu bagaimana di negara kita Indonesia?. Budaya antre di Indonesia masih menghadapi tantangan terutama di masyarakat umum seperti kurangnya kesadaran dalam diri individu dan lemahnya aturan pemerintah. Oleh karena itu, pendidikan karakter ditanamkan sejak dini di sekolah, sehingga budaya tersebut dapat terpatri dalam diri anak-anak dengan baik.Â
Beberapa tantangan yang dapat kita lihat dari kehidupan sehari-hari di lingkungan sosial yaitu seperti kurangnya kesadaran dan egoisme individu, fasilitas yang belum memadai, dan penegakan aturan yang kurang jelas.
Dalam kehidupan sehari-hari sperti pada acara perkawinan ataupun pemberian bantuan dari pemerintah, sering kali kita melihat masyarakat yang kurang sabar dalam antrean yang telah di tetapkan oleh lembaga maupun pemilik hajatan.Â
Contoh kecil di pesta perkawinan rakyat atau pesta yang diadakan di sebuah gedung serbaguna, bebrapa kali pembawa acara harus mengingatkan bahwa para tamu di mohon untuk tidak berdesak-desakan, namun sering kali dilanggar dan tidak di patuhi. Terkadang pembawa acara telah menetapkan bahwa tamu undangan yang memberi ucapan selamat di dahului oleh deretan bapak-bapak (karena biasanya tamu laki-laki di pisahkan tempat duduknya denga tamu wanita), kemudian dilanjutkan oleh deretan ibu-ibu. Namun belum sampai habis deretan bapak-bapak para kaum ibu sudah maju dan mendahului bahkan menyelipkan diri di antara deretan bapak-bapak. Dan hal ini akan mengundang para tamu yang lain untuk mengikuti perbuatan yang sama, karena tidak adanya larangan dan sanksi yang jelas di masyarakat seperti di intitusi formal lainnya.
Padahal jika di pertimbangkan kembali bahwa hal tersebut dapat menimbulkan rasa tidak nyaman bagi orang lain, terlihat tidak tertib, dan yang lebih parahnya adalah terjadi penumpukan tamu undangan di lorong ke arah panggung pengantin. Miris memang, namun itulah kenyataan yang ada di lapangan.
Apakah hal itu dilema?
Tentu saja hal itu akan menjadi dilema bagi siapapun, secara terpaksa mereka akan menerima keadaan tersebut meskipun kurang nyaman.Â
Terkadang aku berpikir, apakah mereka kurang edukasi dalam memahami kalimat dari Pembawa acara? ataukah hanya demi mengejar waktu dan mengabaikan kenyamanan orang lain?
Aku sering punya pengalaman hal tersebut. Hampir terjadi di setiap acara pernikahan baik itu di lapangan terbuka maupun di dalam sebuah gedung serbaguna sekelas kota kabupaten. Ketika tiba acara memberi ucapan selamat kepada pengantin dipersilahkan deretan bapak-bapak kemudian diikuti deretan ibu-ibu. Pada menit pertama masih tertib, namun di menit berikutnya para ibu-ibu sudah tidak sabar, maka tanpa perintah merekapun bangun dan menyelipkan diri di antara tamu lelaki demikian sebaliknya. Dan akhirnya diikuti oleh yang lain untuk ikut serta berdesakan untuk segera mengucapkan selamat.
Tata tertib yang berantakan
Dilema antara budaya yang buruk dan karakter yang kurang disiplin.Â
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran diri untuk menanamkan karakter disiplin pada diri sejak dini. Menemukan solusi yang tepat untuk menghadapi berbagai tantangan budaya antre ini antara lain dengan memberikan edukasi berkelanjutan dari sekolah, keluarga, dan masyarakat, menerapkan aturan sanksi yang tegas dan jelas bagi yang melanggar.
Karena bagaimanapun kita harus menyadari bahwa budaya antre tidak selalu berkaitan dengan pendidikan formal. Budaya antre bisa kita lakukan dan terapkan sejak dini pada diri sendiri dan keluarga kita dengan bisa bersikap sabar dan membiasakan diri untuk peduli dengan orang lain. Sehingga hal ini tidak lagi dianggap sepele, karena karakter yang baik akan terlihat dari sikap hidup yang baik di masyarakat.Â
Semoga masyarakat semakin menyadari hal ini.
Harapan masa depan yang lebih baik, bukan?Â
Salam Literasi
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI