Mohon tunggu...
ARSaleh
ARSaleh Mohon Tunggu... Pensiunan ASN

Pensiunan ASN, hobi menulis cerpen/novel/opini. Terkadang menulis ilmu pengetahuan. Mohon maaf, belakangan ini saya tidak konsisten mengunggah Cerbung saya karena sistemnya sering error, katanya karena padatnya traffic. Jadi bukan saya sengaja terlambat.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jejak Pustakawan - Bagian 9

6 September 2025   09:16 Diperbarui: 9 September 2025   06:46 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat menggunakan ChatGPT

Bab 9: Inggris, dan Bahasa yang Tidak Menyelamatkanku

Hari pertama di Inggris, aku tidak tahu apa yang kurasakan.
Bahagia? Mungkin.
Sedih? Jelas.
Takut? Iya.
Khawatir? Sudah pasti.

Semuanya bercampur jadi satu---seperti kabut London yang dingin, tebal, dan tidak bisa ditebak arahnya.

Ini dunia baru. Jalanan berbeda. Wajah-wajah asing. Makanan asing. Bahkan suara klakson pun terasa berbeda.
Dan yang paling membuatku terdiam: aku tidak merasa mengerti apapun.
Padahal aku sudah belajar bahasa Inggris sejak SMP, SMA, kuliah, dan kursus enam bulan sebelum berangkat. Tapi semua itu mendadak lenyap saat duduk di ruang kuliah pertama.

Dosen berbicara cepat. Dengan aksen Inggris yang tidak seperti di kaset TOEFL.
Kadang ia bercanda. Mahasiswa lain tertawa.
Aku ikut tertawa---tapi bukan karena aku paham. Tapi karena aku menertawakan diriku sendiri.

Aku merasa seperti sedang duduk di bioskop dengan subtitle rusak.
Gambarnya jalan, suaranya jelas, tapi maknanya hilang.

Di luar kelas, keadaannya tak jauh beda.

Suatu hari aku tersesat di jalan.
Aku memberanikan diri bertanya pada seorang pria bule paruh baya yang lewat. Aku sudah siapkan kalimat, sudah kuatur pengucapan, kupilih kata-kata sederhana.

"Excuse me, where is the nearest bus stop?"

Mulutku sudah monyong-monyong, konsonan sudah kupahat sejelas mungkin. Tapi dia hanya memiringkan kepala.
"Sorry?" katanya.

Aku ulangi. Lebih pelan.

Dia tetap tidak mengerti.

Akhirnya aku menyerah. Aku tunjukkan tangan, arah, jalan, sambil mengangkat bahu dan menggerakkan tangan seperti orang sedang menari patah-patah.

Bahasa Tarzan.

Dan ajaibnya, dengan bahasa itu, dia akhirnya mengerti.
Ia menunjuk arah, dan aku angguk-angguk seperti anak kecil yang baru diajari jalan pulang.

Malam itu aku pulang ke asrama dan tertawa sendiri.
Bukan karena lucu. Tapi karena pahit.

Ternyata, bisa berangkat ke luar negeri tidak otomatis membuatmu jadi bagian dari dunia itu.
Ada harga yang harus dibayar untuk jadi "orang asing." Dan kadang, harganya adalah merasa bodoh di tengah orang-orang yang tampak cerdas.

Tapi satu hal yang kutahu:
Aku mungkin tertinggal dalam memahami kata-kata mereka. Tapi aku tidak tertinggal dalam alasan kenapa aku ke sini.

Dan itu cukup untuk bertahan satu hari lagi.

Untungnya, sebelum kuliah betulan dimulai, aku mendapat kesempatan ikut training intensif selama tiga bulan. Sebuah program khusus untuk mempersiapkan mahasiswa internasional menghadapi studi di Inggris.

Dan di situlah aku bertemu orang yang pelan-pelan menarikku keluar dari kekacauan linguistik: seorang native speaker yang pernah beberapa tahun tinggal di Indonesia.
Dialah yang pertama kali membuatku merasa:
"Oke, mungkin aku tidak sepenuhnya bego."

Dia tahu betul di mana letak kekakuan lidah kami. Dia bisa menebak kalau kami salah mengucapkan beach jadi bitch, atau sheet jadi... ya, kamu tahu.
Dia tahu kami takut salah. Dan dia tidak tertawa saat kami salah.

Dari kelas itu, aku mulai belajar bahwa bahasa Inggris bukan soal grammar semata. Tapi tentang keberanian bicara meski belepotan.

Aku mulai berani ngobrol.
Dan saat mulai bicara dengan orang-orang dari berbagai negara, aku sadar satu hal lagi:
bahkan bule pun tidak semuanya bicara dengan aksen yang sama.

Orang dari Wales punya aksen seperti menyanyi sambil berkumur.
Orang Yorkshire terdengar berat dan dalam.
Orang Scotland? Kadang aku merasa mereka tidak bicara Inggris, tapi kode kuno dari abad pertengahan.
Teman dari Amerika terdengar cepat, ceplas-ceplos.
Teman Kanada lebih lembut, tapi kadang agak nyeleneh.
Orang India, Afrika, Jepang, China---semuanya membawa logat dan cara bicara sendiri-sendiri.

Dan tiba-tiba aku sadar:
aku bukan satu-satunya yang berjuang memahami bahasa Inggris dengan aksen asing.
Kami semua saling berusaha memahami, meski dengan logat yang saling menabrak.

Hari-hari itu jadi pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan.
Aku datang ke Inggris sebagai orang yang merasa tidak punya suara.
Tapi di kelas itu, bersama orang-orang dari berbagai benua, aku menemukan suara sendiri---meski masih terbata.

Dan yang lebih penting:
aku mulai merasa pantas ada di sini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun