Dia tetap tidak mengerti.
Akhirnya aku menyerah. Aku tunjukkan tangan, arah, jalan, sambil mengangkat bahu dan menggerakkan tangan seperti orang sedang menari patah-patah.
Bahasa Tarzan.
Dan ajaibnya, dengan bahasa itu, dia akhirnya mengerti.
Ia menunjuk arah, dan aku angguk-angguk seperti anak kecil yang baru diajari jalan pulang.
Malam itu aku pulang ke asrama dan tertawa sendiri.
Bukan karena lucu. Tapi karena pahit.
Ternyata, bisa berangkat ke luar negeri tidak otomatis membuatmu jadi bagian dari dunia itu.
Ada harga yang harus dibayar untuk jadi "orang asing." Dan kadang, harganya adalah merasa bodoh di tengah orang-orang yang tampak cerdas.
Tapi satu hal yang kutahu:
Aku mungkin tertinggal dalam memahami kata-kata mereka. Tapi aku tidak tertinggal dalam alasan kenapa aku ke sini.
Dan itu cukup untuk bertahan satu hari lagi.
Untungnya, sebelum kuliah betulan dimulai, aku mendapat kesempatan ikut training intensif selama tiga bulan. Sebuah program khusus untuk mempersiapkan mahasiswa internasional menghadapi studi di Inggris.
Dan di situlah aku bertemu orang yang pelan-pelan menarikku keluar dari kekacauan linguistik: seorang native speaker yang pernah beberapa tahun tinggal di Indonesia.
Dialah yang pertama kali membuatku merasa:
"Oke, mungkin aku tidak sepenuhnya bego."
Dia tahu betul di mana letak kekakuan lidah kami. Dia bisa menebak kalau kami salah mengucapkan beach jadi bitch, atau sheet jadi... ya, kamu tahu.
Dia tahu kami takut salah. Dan dia tidak tertawa saat kami salah.