Dari kelas itu, aku mulai belajar bahwa bahasa Inggris bukan soal grammar semata. Tapi tentang keberanian bicara meski belepotan.
Aku mulai berani ngobrol.
Dan saat mulai bicara dengan orang-orang dari berbagai negara, aku sadar satu hal lagi:
bahkan bule pun tidak semuanya bicara dengan aksen yang sama.
Orang dari Wales punya aksen seperti menyanyi sambil berkumur.
Orang Yorkshire terdengar berat dan dalam.
Orang Scotland? Kadang aku merasa mereka tidak bicara Inggris, tapi kode kuno dari abad pertengahan.
Teman dari Amerika terdengar cepat, ceplas-ceplos.
Teman Kanada lebih lembut, tapi kadang agak nyeleneh.
Orang India, Afrika, Jepang, China---semuanya membawa logat dan cara bicara sendiri-sendiri.
Dan tiba-tiba aku sadar:
aku bukan satu-satunya yang berjuang memahami bahasa Inggris dengan aksen asing.
Kami semua saling berusaha memahami, meski dengan logat yang saling menabrak.
Hari-hari itu jadi pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan.
Aku datang ke Inggris sebagai orang yang merasa tidak punya suara.
Tapi di kelas itu, bersama orang-orang dari berbagai benua, aku menemukan suara sendiri---meski masih terbata.
Dan yang lebih penting:
aku mulai merasa pantas ada di sini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI