Seminggu kemudian kami pindah rumah, anak-anakku senang sekali, mereka akhirnya punya kamar masing-masing, walalupun masih harus tidur berdua tapi mereka punya kasur masing-masing. Rumah itu memang masih lengkap perabotnya, di setiap kamar ada tempat tidurnya, ada almari juga, kasurnya juga ada. Jadi aku tidak perlu membeli banyak barang, cukup menyewa gerobak sapi 2 kali jalan, semua yang ada di rumah lama sudah terangkut. Barang-barang lama sengaja aku tinggal, toh aku juga masih pulang pergi ke rumah lama itu. Bahkan anak ke empatku malah pengin tinggal di rumah lama, maklum pacarnya anak desa situ.
Malam pertama aman, malam kedua sudah mulai terdengar sesuatu, entah suara sesuatu yang diseret, atau tangisan lirih.
Tapi cuma aku dan Izak anak ketigaku saja yang mendengar, untung saja.
Pagi itu istriku bangun dengan mata panda, ada lingkaran hitam di bawah matanya.
"Kamu nggak bisa tidur semalam Mi?'
"Nggak bisa Pi."
"Kok nggak bangunin aku?"
'Aku kasihan kamu pulang lembur semalam."
"Emangnya ada apa?"
"Nggak ada apa-apa, cuma perasaanku aja yang seperti orang yang was-was, aku seperti dilihatin seseorang."
"Hanya perasaanmu aja itu Mi."