Saya secara pribadi meyakini bahwa ajaran leluhur tentang bagaimana memilih pasangan seperti dijelaskan diatas, masih sangat relevan dengan kondisi saat ini maupun masa yang akan datang.
Pertanyaan, kalau seseorang tidak memiliki tiga kriteria diatas berarti tidak layak untuk dijadikan pasangan hidup?
Menurut hemat saya, sederhananya begini kawan. Kalau kamu seorang pria yang sedang jatuh cinta sama wanita, kemudian ingin mempersunting dia. Berarti kamu akan menjadi pemimpin, menjadi imam dalam kehidupan rumah tangga, benar?
Nah.. apakah seorang pria pantas dijadikan imam ketika memiliki karakter yang tidak baik atau berperilaku buruk? Apakah seorang pria layak dijadikan pemimpin manakala dia tidak bertanggung jawab, misalnya dalam hal mencari nafkah untuk keluarga? Apakah seorang pria pantas dijadikan imam jika dia tidak bisa mendidik pasangan dan sang buah hati kelak?
Poin saya adalah pantaskan dirimu sendiri terlebih dahulu sebagai seorang pria yang sebenar-benarnya pria, sebelum mempertanyakan kelayakan diri atas calon pasanganmu.
Untuk para kaum hawa, ketika memutuskan menikah, maka semua hak dan kewajiban kalian serahkan sepenuhnya kepada sang Suami. Bagaimanapun juga wanita tidak akan bisa menjadi imam dalam rumah tangga.
Dilihat dari sudut pandang emansipasi sekalipun, saya tidak menemukan alasan kuat untuk menjadikan wanita sebagai pemimpin rumah tangga.
Saya juga tidak pernah menjumpai ibadah salat berjamaah, dimana imamnya wanita dan makmumnya pria.
Namun bukan berarti wanita tidak memiliki kesempatan berpendapat. Wanita sangat dianjurkan memberikan opini dan pertimbangan, namun keputusan tetap ada pada sang Pria. Disinilah seni berpasangan yang penuh tantangan.
Jika sang Pria dan Wanita sudah berperilaku ideal, maka kehidupan rumah tangga justru semakin asyik untuk dinikmati. Malfungsi peranan Pria dan Wanita dalam rumah tangga biasanya dikarenakan kurangnya pemahaman posisi dan minimnya pertimbangan Bibit, Bebet dan Bobot.
***