Dari kedua hadis diatas dapat ditarik benang merah bahwa sebuah pernikahan haruslah mendapat persetujuan atau kerelaan hati dari sang Wanita. Begitu pula dengan perjodohan, baik pria maupun wanita jika memang tidak suka, maka berhak untuk menolak.
3. Orang tua dilarang menjodohkan anaknya dengan paksaan.
Perkawinan merupakan pergaulan abadi antara seorang Pria dan Wanita. Kelangengan dan keserasian tidak akan terwujud manakala pernikahan tidak disertai dengan kerelaan hati.
Sebuah perkawinan yang dipaksakan dapat dibatalkan jika salah satu atau bahkan keduanya merasa bukan keinginannya sendiri. Karena khawatir apabila terus dipaksakan pernikahannya hanya akan menjadi ajang untuk menzalimi pasangannya.
Namun, sekalipun pernikahannya batal, perpisahan harus dilakukan melalui ucapan talak yang dilontarkan suami. Sementara yang bisa dilakukan bagi wanita, meminta suaminya untuk mengucapkan kata cerai. Atau dia mengajukan ke pengadilan agar diceraikan hakim (fasakh).
“Ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah SAW dan melaporkan bahwa ayahnya menikahkannya sementara dia tidak suka. Kemudian Rasulullah memberikan hak pilih kepada wanita tersebut (untuk melanjutkan pernikahan atau pisah).” (HR Ahmad)
***
Perjodohan jika dilihat dari dua kacamata, baik Jawa maupun Islam sebenarnya adalah sebuah proses. Proses untuk mencari, proses untuk memilih, proses untuk mengenal dan proses untuk memberikan kerelaan.
Kesemuanya tidak dapat dipaksakan namun harus ditumbuhkan. Segala sesuatu yang dipaksakan ujung-ujungnya adalah rasa sakit dan penderitaan. Sedangkan semua hal jika ditumbuhkan akan semakin meninggi dan membesar.
Begitulah makna cinta sejati. Cinta yang tulus itu selalu bertumbuh dari hati dan nurani, berkembang menelusup sanubari.
Tak perlu memaksakan cinta kepada orang lain, karena cinta yang dipaksakan hanya akan membuat Anda tersiksa.