Di banyak kantor di Indonesia, pulang larut malam sudah dianggap hal biasa.
Bahkan, ada yang merasa bangga bisa menunjukkan betapa sibuk dan loyal dirinya lewat jam kerja yang panjang. Pemandangan anak muda keluar kantor di atas jam sembilan malam, masih dengan laptop di tangan dan wajah lelah, seolah menjadi simbol produktivitas.
Padahal, budaya lembur yang terus dipelihara ini sering kali menutupi masalah manajemen waktu dan sistem kerja yang tidak sehat.
Di sisi lain, orang tua kerap berpesan untuk menikmati masa muda. Usia muda dianggap fase yang paling berharga, di mana energi, kesehatan, dan semangat masih melimpah.
Namun, kenyataan yang dihadapi banyak pekerja justru berkebalikan. Masa muda dihabiskan di balik meja kantor, menuntaskan target yang seolah tidak ada habisnya, sementara kesempatan untuk benar-benar menikmati hidup semakin tipis.
Normalisasi Lembur dan Hilangnya Batas Sehat
Dalam konteks dunia kerja, lembur sering diposisikan sebagai bentuk pengorbanan. Pekerja yang rajin lembur dinilai lebih berdedikasi dan punya komitmen tinggi.Â
Namun, narasi semacam ini sebenarnya hanya menguntungkan perusahaan. Lembur yang berulang kali terjadi menunjukkan adanya persoalan dalam manajemen tugas, jumlah tenaga kerja, atau distribusi pekerjaan yang tidak seimbang.
Ketika lembur menjadi kebiasaan, batas antara bekerja dan hidup pribadi pun terkikis. Seorang anak muda bisa menghabiskan hampir seluruh waktunya di kantor, lalu pulang hanya untuk tidur sebentar sebelum kembali ke rutinitas yang sama.
Aktivitas lain yang seharusnya mewarnai masa muda, seperti menjalin pertemanan, membangun hobi, atau sekadar menikmati waktu santai, tergantikan oleh laporan dan deadline.