Masih banyak orang yang mau sekolah. Masih banyak orang yang mau terus belajar. Namun bagi orang yang sudah malas mengasah kognitif akan berpikir, "Untuk apa kuliah tinggi-tinggi jika gelar dan ijazah tak lagi menjadi yang utama pada pekerjaan?"
Setiap kali menghadiri prosesi wisuda, suasana penuh kebanggaan itu selalu diwarnai dengan harapan besar.
Setelah gelar dan ijazah dapat di tangan, hidup akan terasa lebih mudah. Gedung-gedung kampus penuh dengan toga, senyum, dan kamera yang menangkap momen istimewa.Â
Namun, di balik perayaan itu, ada pertanyaan bising yang kerap muncul di kepala. Apakah gelar yang kita raih ini benar-benar menjamin kesejahteraan? Atau justru dunia kerja punya cara lain untuk mendefinisikan sukses?
Mungkin saja pada 4 tahun yang lalu saat duduk di bangku kelas 3 SMA mau berakhir, gelar itu kita yakini bisa meraih sebuah karir yang kita inginkan.
Pengalaman ini saya rasakan sendiri ketika menghadiri wisuda pascasarjana jurusan Hukum paman saya pada akhir Agustus lalu di Universitas Jambi (UNJA). Dari ratusan bahkan ribuan lulusan yang dilepas, hanya sedikit yang langsung bisa memastikan kenaikan gaji atau promosi.Â
Banyak yang tetap berkutat dengan posisi yang sama di kantor, seolah gelar baru hanyalah simbol prestise akademik, bukan tiket otomatis menuju kesejahteraan.
Sementara itu, di sisi lain kehidupan, ada cerita berbeda.Â
Seorang lulusan SMA yang beruntung punya "jalur orang dalam" atau kejelian membaca peluang, bisa saja langsung melompat ke pekerjaan dengan gaji dua kali lipat UMR. Tanpa toga, tanpa skripsi, tanpa menghabiskan waktu bertahun-tahun di ruang kuliah.Â
Kontras inilah yang membuat banyak anak muda mulai mempertanyakan: apakah kuliah benar-benar investasi, atau sekadar tradisi yang kita jalani karena "sudah seharusnya begitu"?