Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Ini Bukan Soal "Enggak Apa-apa", Tapi Perlu Berani untuk Bercerita

30 April 2025   19:30 Diperbarui: 30 April 2025   17:14 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Friendship (Sumber: Unsplash)

Dalam percakapan sehari-hari, banyak dari kita yang lihai memberikan semangat untuk teman-teman. "Kamu pasti bisa." "Tenang, ini cuma fase." "Jangan keras sama diri sendiri." 

Kalimat-kalimat ini meluncur begitu alami ketika orang lain bercerita soal beban hidupnya. Tapi, ketika kita sendiri yang terpuruk, mengapa rasanya sulit sekali memberikan penguatan yang sama untuk diri sendiri?

Kenyataan pahitnya, banyak orang lebih mudah bersikap welas asih pada orang lain dibanding pada dirinya sendiri. Kita terbiasa jadi bahu untuk tempat bersandar, tapi tidak tahu bagaimana cara menyandarkan diri sendiri. 

Ini bukan hanya tentang empati, tapi soal bagaimana kita diprogram oleh budaya, pengalaman masa kecil, hingga tuntutan sosial untuk mendahulukan orang lain, bahkan ketika diri sendiri sedang butuh pertolongan.

Peran sosial yang melelahkan diam-diam

Kita hidup di masyarakat yang memuja ketangguhan. "Kuat itu keren." "Jangan manja." "Kalau kamu ngeluh, terus siapa yang bantu?" Pesan-pesan ini membuat banyak orang merasa perlu terlihat baik-baik saja, bahkan ketika sedang goyah. 

Akhirnya, memberi semangat ke orang lain menjadi semacam peran sosial yang terus dipertahankan karena itu menunjukkan bahwa kita masih "berguna."

Menjadi pendengar yang baik pun sering dipandang sebagai kelebihan. Tapi apa yang terjadi ketika si pendengar itu sendiri tidak punya ruang untuk bersuara? Banyak dari kita mengalami kelelahan emosional karena terbiasa menyimpan cerita sendiri.

Ketika orang lain sedih, kita jadi penyemangat. Tapi ketika kita yang sedih, kita memilih diam atau berpura-pura sibuk agar tidak merasa lemah. Kita lebih tahu bagaimana menenangkan orang lain dibanding menyembuhkan luka sendiri.

Fenomena ini juga berkaitan erat dengan people-pleasing. Banyak yang merasa bahwa nilai dirinya ada dalam perannya membantu orang lain. Akibatnya, mereka tidak terbiasa menilai emosi pribadi sebagai sesuatu yang penting. Menghibur orang lain menjadi cara untuk merasa berharga, sementara kebutuhan emosional diri sendiri dipinggirkan.

Belajar menyayangi diri dengan cara yang sama

Jika kita mampu memberi dukungan, semangat, dan pengertian pada orang lain, itu artinya kita tahu bagaimana caranya bersikap lembut dan penuh empati. Pertanyaannya: mengapa standar itu tidak kita gunakan juga untuk diri sendiri?

Salah satu jawabannya adalah karena kita belum mengizinkan diri untuk rapuh. Kita terlalu fokus pada peran sebagai penguat, sampai lupa bahwa kita juga manusia. Padahal, merawat diri bukan bentuk kelemahan. 

Mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja bukanlah tanda menyerah. Justru di sanalah titik awal keberanian itu muncul.

Belajar menguatkan diri dimulai dari membangun self-talk yang sehat. Ucapkan hal-hal baik yang biasa kamu katakan ke sahabatmu, tapi kali ini untuk dirimu sendiri. Tidak perlu menunggu validasi dari luar. Jadilah saksi dan pendengar bagi diri sendiri. Latih empati itu untuk mengisi luka di dalam, bukan hanya untuk menambal luka orang lain.

Selain itu, kita juga perlu mengubah cara pandang terhadap peran sebagai "penolong." Kamu tetap bisa membantu orang lain, tapi tidak dengan mengorbankan diri sendiri. Kebaikan yang tidak seimbang akan berujung pada kelelahan emosional yang berkepanjangan. 

Dan ironisnya, pada titik tertentu, kamu bisa kehilangan kemampuan untuk membantu siapa pun, termasuk dirimu sendiri.

Mulailah dengan hal kecil. Luangkan waktu untuk mengenali perasaanmu. Akui saat kamu butuh istirahat. Minta bantuan saat perlu. Dan yang terpenting: perlakukan dirimu sebaik kamu memperlakukan orang-orang yang kamu sayangi.

Menghibur orang lain itu mulia. Tapi lupa menguatkan diri sendiri adalah bentuk ketidakadilan emosional yang perlahan bisa menggerogoti. Karena sebelum jadi cahaya untuk orang lain, kita perlu memastikan pelita di dalam diri tetap menyala. 

Maka lain kali kamu ingin berkata "semangat ya" pada orang lain, cobalah tanya dulu: kapan terakhir kamu mengatakan itu pada dirimu sendiri?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun