Tiba-tiba didiamin sama teman, pasangan, atau keluarga tanpa alasan yang jelas, ada yang pernah mengalaminya?
Awalnya, percakapan di WhatsApp terasa biasa saja, sekadar obrolan ringan untuk mengajak sesuatu. Namun, tiba-tiba pesan yang dikirim hanya berakhir dengan centang biru, ajakan bertemu tak mendapat respons, dan suasana mendadak menjadi dingin tanpa penjelasan.
Situasi seperti ini tentu membingungkan. Ada kesan seolah-olah ada yang salah, tetapi tidak ada kejelasan mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Di Indonesia, fenomena ini dikenal sebagai silent treatment—sikap diam seribu bahasa sebagai respons terhadap konflik atau ketidakpuasan. Bisa jadi karena merasa tidak nyaman untuk membicarakannya secara langsung atau menganggap bahwa orang lain akan memahami tanpa perlu dijelaskan. Sayangnya, sikap ini justru sering kali menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman. Alih-alih menyelesaikan masalah, diam justru membuatnya semakin menumpuk, hingga akhirnya memperlebar jarak dalam hubungan.
Yang lebih menarik, banyak orang menganggap silent treatment sebagai sesuatu yang wajar. Ada anggapan bahwa "diam itu emas." Namun, benarkah demikian? Atau justru sikap diam ini menyisakan luka yang tak kasat mata?
Budaya Diam dan "Gak Enakan"
Sikap diam dalam komunikasi konflik sebenarnya bukan sesuatu yang unik bagi Indonesia.Â
Di negara kita yang penuh dengan budaya yang menjunjung tinggi hubungan sosial, menghindari konfrontasi sering dianggap lebih sopan dan lebih bijaksana daripada berbicara secara langsung.Â
Sejak kecil, banyak dari kita diajarkan untuk menghormati orang lain dengan "jangan membantah," "jangan cari ribut," atau "sudahlah, biar waktu yang menyelesaikan."
Akibatnya, ketika terjadi konflik, banyak orang memilih untuk diam dengan harapan masalah akan mereda dengan sendirinya.Â