Di era serba instan dan penuh distraksi ini, sepertinya perpisahan pun ikut terdampak.Â
Jika dulu orang setidaknya berpamitan, kini tidak sedikit yang memilih menghilang begitu saja tanpa kata. Fenomena ini dikenal luas sebagai ghosting; mengakhiri hubungan secara sepihak dengan cara memutus komunikasi tanpa penjelasan.Â
Tidak hanya terjadi dalam hubungan romantis, pola ini mulai merambah pertemanan, bahkan hubungan profesional. Pertanyaannya, mengapa semakin banyak orang yang memilih diam dan pergi begitu saja?
Diam sebagai bentuk pelarian, bukan solusi
Banyak yang menganggap menghilang lebih mudah daripada menjelaskan. Bagi sebagian orang, percakapan emosional seperti "aku ingin mengakhiri ini" terasa berat, tidak nyaman, dan memicu rasa bersalah.Â
Maka jalan pintasnya adalah menghindar. Sayangnya, cara ini meninggalkan lebih banyak luka daripada solusi. Orang yang ditinggalkan tidak hanya harus menerima kenyataan ditinggalkan, tetapi juga menanggung kebingungan tanpa kejelasan.Â
Apakah aku salah? Apa yang terjadi? Apakah dia baik-baik saja?
Dalam banyak kasus, ghosting dan silent treatment sebenarnya bukan tindakan spontan. Mereka muncul dari budaya komunikasi yang tidak sehat, di mana ketidaknyamanan dianggap sebagai hal yang harus dihindari, bukan dihadapi.Â
Ketika seseorang tidak pernah belajar untuk menyampaikan perasaan atau menetapkan batas dengan sehat, ia akan mudah memilih jalan diam sebagai bentuk kontrol atau bahkan hukuman.
Sayangnya, cara ini justru memperpanjang ketidakpastian dan memperburuk luka emosional.Â