Tanpa konsultasi lebih lanjut, mereka bisa langsung menyimpulkan bahwa mereka mengalami gangguan tertentu hanya karena merasa cocok dengan 1-2 ciri yang dijelaskan.
Masalahnya, konten-konten ini sering kali tidak dilengkapi dengan konteks atau disclaimer yang memadai. Informasi yang seharusnya bersifat edukatif menjadi konsumsi massal tanpa pemahaman mendalam.Â
Di sinilah komunikasi digital punya peran besar. Ketika pesan yang disampaikan hanya fokus pada engagement dan bukan pada keakuratan atau kejelasan informasi, maka risiko salah paham meningkat.
Media sosial menciptakan ruang yang memperkuat bias kognitif: kita cenderung mencari dan percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinan atau perasaan kita saat itu.Â
Ditambah lagi dengan algoritma yang memperlihatkan konten serupa secara berulang, seseorang bisa merasa semakin yakin bahwa "diagnosis" yang mereka ambil sendiri itu benar adanya.Â
Padahal, gejala seperti cemas, tidak fokus, atau kelelahan emosional bisa saja bersumber dari kelelahan biasa, bukan gangguan mental spesifik.
Perlu Literasi Digital dan Keberanian untuk Bertanya Lebih Jauh
Untuk menyeimbangkan arus informasi yang masif ini, penting bagi kita membangun literasi digital yang lebih baik.Â
Literasi digital bukan hanya soal tahu cara menggunakan internet, tapi juga soal mampu memilah informasi, mengenali sumber yang kredibel, dan menyadari bahwa tidak semua hal bisa disimpulkan dari satu artikel atau satu video berdurasi 30 detik.
Komunikasi digital yang sehat juga perlu dibangun dari sisi pengguna. Kita perlu lebih sadar bahwa apa yang kita baca atau tonton di internet bukan pengganti dari konsultasi langsung dengan tenaga profesional.Â
Bahkan jika seseorang merasa cocok dengan satu diagnosis, bukan berarti ia benar-benar mengalaminya. Diagnosis bukan sekadar label, tapi proses panjang yang melibatkan observasi, wawancara, dan evaluasi menyeluruh oleh orang yang berkompeten.