Mohon tunggu...
Teguh Ostenrik
Teguh Ostenrik Mohon Tunggu... Seniman

Pelukis, pematung, sukak mikir, ARTificIAL Reef dan sukak masak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antara Kebab dan Doener

17 Maret 2025   09:15 Diperbarui: 17 Maret 2025   14:09 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ich heisse... Teguh."

"Woher du kommen ?" tanyanya lagi.

"Ich bin aus Indonesien."

Hasan tertawa riang. "Haaaah, du Musliman... du Muhamadan?"

"Asalamaulaikum" sambil tersenyum lebar.

Saya ikut tertawa, berhenti melangkah, mendekati pintu kayu besar sambil membukanya. Rumah Muskauerstrasse 29. Hasan mengikuti saya masuk ke dalam rumah. Dia menekan tombol lampu tangga, dan kami berjalan menaiki anak-anak tangga kayu yang setengah reyot, karena memang sudah lama tidak pernah direnovasi. Tak heran harga sewa di sini murah sekali.

"Wah, ternyata kita tetangga. Wohnung-ku persis di seberang pintumu," ujarnya sambil tertawa kecil.

Kami tertawa bersama, merasa lucu karena baru sadar bahwa kami tinggal berhadapan selama ini. Percakapan sederhana itu membuat saya merasa tidak sendirian lagi di lingkungan yang asing ini.

Menjelang tiga hingga empat bulan sebelum Meisterschlerprfung, hidup saya terasa seperti berpacu dengan waktu. Di HdK Berlin, saya sibuk berkutat di studio, bengkel Radierung, Siebdruk, dan tentu saja di perpustakaan. Waktu untuk mencari pekerjaan sampingan yang biasanya membantu membiayai hidup semakin hilang. Tabungan saya kian menipis, dan hidup pun semakin sulit.

Makan siang di Mensa menjadi momen yang saya manfaatkan sebaik-baiknya. Sering kali, saya meminta tambahan kentang rebus, yang kemudian saya bungkus untuk makan malam di rumah. Majalah-majalah berisi gambar makanan mewah yang saya kumpulkan dari tempat sampah di stasiun U-Bahn saya gunting dan tempel di atas meja makan kayu --- meja yang saya temukan di kontainer pembuangan sampah di pinggir jalan. Malam itu, seperti biasa, saya menatap gambar-gambar itu sambil memakan kentang rebus dengan taburan garam.

"Makan yang enak, makan yang mewah..." bisik saya dalam hati, menipu diri sendiri. Gambar-gambar hidangan mahal itu seolah membuat lidah saya percaya bahwa yang saya makan adalah sesuatu yang istimewa. Lidah saya manut, tapi hati saya tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun