Mohon tunggu...
Teguh Ostenrik
Teguh Ostenrik Mohon Tunggu... Seniman

Pelukis, pematung, sukak mikir, ARTificIAL Reef dan sukak masak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antara Kebab dan Doener

17 Maret 2025   09:15 Diperbarui: 17 Maret 2025   14:09 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kreuzberg - Berlin 1979

Saya masih berdiri di dalam U-Bahn Linie 1 yang baru saja meninggalkan stasiun Gleisdreieck menuju Endstation Schlesisches Tor. Di luar, hujan rintik-rintik membasahi jendela kereta yang penuh bercak kotoran. Musim dingin kali ini terasa tanggung; salju hanya turun tipis, bercampur dengan hujan gerimis yang dingin dan lembab. Udara pengap di dalam gerbong terasa berat, bercampur bau pakaian basah dan parfum murahan. Beberapa penumpang terlihat lelah, sebagian sibuk menunduk, tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Di sudut gerbong, seorang pria tua batuk-batuk keras sambil sesekali mengusap hidungnya dengan tisu yang sudah lecek.

Saya menarik napas panjang dan menyandarkan kepala ke jendela yang berembun. Dingin merayap dari kaca ke pipi saya. Pikiran saya melayang, membayangkan studio, perpustakaan, dan bengkel-bengkel di kampus yang menanti. Dan lebih dari itu, memikirkan sisa tabungan yang kian menipis.

Saat U-Bahn berhenti di Kottbuser Tor, saya turun. Trotoar basah, genangan air bercampur salju kotor memantulkan lampu-lampu jalan yang suram. Saya menarik kerah jaket lebih rapat ke leher, lalu melangkah cepat menyusuri Muskauerstrasse.

Di pertengahan jalan, saya melihat seorang pria berwajah ramah berjalan dari Eisenbahnstrasse, belok ke Muskauerstrasse.

"Halo!" sapanya dengan senyum lebar.

"Halo," balas saya, agak terkejut.

"Kamu mahasiswa ya?" tanyanya sambil menunjuk ke tas yang saya tenteng.

"Iya, aku kuliah di HdK," jawab saya. "Kamu tinggal di sekitar sini?"

"Ja! Ich Hasan, aus Turkei" katanya sambil mengulurkan tangan.

"Ich heisse... Teguh."

"Woher du kommen ?" tanyanya lagi.

"Ich bin aus Indonesien."

Hasan tertawa riang. "Haaaah, du Musliman... du Muhamadan?"

"Asalamaulaikum" sambil tersenyum lebar.

Saya ikut tertawa, berhenti melangkah, mendekati pintu kayu besar sambil membukanya. Rumah Muskauerstrasse 29. Hasan mengikuti saya masuk ke dalam rumah. Dia menekan tombol lampu tangga, dan kami berjalan menaiki anak-anak tangga kayu yang setengah reyot, karena memang sudah lama tidak pernah direnovasi. Tak heran harga sewa di sini murah sekali.

"Wah, ternyata kita tetangga. Wohnung-ku persis di seberang pintumu," ujarnya sambil tertawa kecil.

Kami tertawa bersama, merasa lucu karena baru sadar bahwa kami tinggal berhadapan selama ini. Percakapan sederhana itu membuat saya merasa tidak sendirian lagi di lingkungan yang asing ini.

Menjelang tiga hingga empat bulan sebelum Meisterschlerprfung, hidup saya terasa seperti berpacu dengan waktu. Di HdK Berlin, saya sibuk berkutat di studio, bengkel Radierung, Siebdruk, dan tentu saja di perpustakaan. Waktu untuk mencari pekerjaan sampingan yang biasanya membantu membiayai hidup semakin hilang. Tabungan saya kian menipis, dan hidup pun semakin sulit.

Makan siang di Mensa menjadi momen yang saya manfaatkan sebaik-baiknya. Sering kali, saya meminta tambahan kentang rebus, yang kemudian saya bungkus untuk makan malam di rumah. Majalah-majalah berisi gambar makanan mewah yang saya kumpulkan dari tempat sampah di stasiun U-Bahn saya gunting dan tempel di atas meja makan kayu --- meja yang saya temukan di kontainer pembuangan sampah di pinggir jalan. Malam itu, seperti biasa, saya menatap gambar-gambar itu sambil memakan kentang rebus dengan taburan garam.

"Makan yang enak, makan yang mewah..." bisik saya dalam hati, menipu diri sendiri. Gambar-gambar hidangan mahal itu seolah membuat lidah saya percaya bahwa yang saya makan adalah sesuatu yang istimewa. Lidah saya manut, tapi hati saya tidak.

Suatu pagi, saya berdiri di peron U-Bahn Kottbuser Tor menunggu kereta menuju tengah kota. Udara pagi terasa menggigit. Orang-orang berdiri diam, sebagian membenamkan wajah mereka di balik syal tebal. Saya memandangi rel, berusaha mengabaikan rasa lapar yang mulai menggerogoti perut. Dari sudut mata, saya melihat Hasan berdiri tidak jauh dari saya.

"Teguh!" serunya, menghampiri saya dengan wajah cerah.

"Eh, Hasan! Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya saya, berusaha tersenyum meski tubuh saya terasa lemas.

"Ada urusan di Moritzplatz," jawabnya. "du allein?"

Saya mengangkat bahu. "Ke kampus. Sibuk banget sekarang, lagi nyiapin ujian Meister."

"Oh ya? Berat nggak?"

Saya menghela napas panjang. "Berat banget. Sampai nggak punya waktu buat kerja sampingan lagi. Duit makin tipis..."

"Astaga... Jadi kamu nggak makan cukup?"

Saya hanya tersenyum tipis, berusaha menutupi kekhawatiran saya. "Ya... beginilah. Aku baik-baik saja kok."

Hasan menatap saya lama, seolah memahami sesuatu yang saya coba sembunyikan. "Kalau butuh apa-apa, bilang saja, ya?"

"Terima kasih, Hasan... tapi aku nggak mau merepotkan."

Kereta datang, dan kami naik berbarengan. Hasan duduk di samping saya tanpa banyak bicara. Saya tak tahu saat itu bahwa Hasan benar-benar memikirkan ucapan saya.

Keesokan harinya, pintu apartemen saya diketuk. Saat saya buka, Hasan berdiri di depan pintu. Tangannya penuh membawa kebab, salad, dan roti hangat.

"Ini untukmu," katanya lirih.

Saya terpaku, tak tahu harus berkata apa. Mata saya panas, dan tanpa sadar air mata mulai menggenang. "Kamu... kamu nggak perlu repot-repot," ujar saya dengan suara bergetar.

"Kamu nggak bisa begini terus," katanya sambil masuk ke apartemen. Dia menatap sekeliling dan mengernyit. "Kenapa dingin sekali di sini?"

"Aku... nggak berani beli batu bara," jawab saya pelan.

Tanpa banyak bicara, dia hanya mengangguk paham. Keesokan harinya, dia datang lagi. Kali ini, dia membawa beberapa briket batu bara. Dan selama empat bulan berikutnya, dia dan para tetangga Turki lainnya bergantian membawa makanan dan batu bara untuk saya.

Suatu malam, Hasan datang membawa beberapa briket batu bara. Saat dia meletakkannya di sudut ruangan, saya menatapnya lama.

"Hasan," panggil saya pelan.

"Ya?" jawabnya sambil menepuk tangannya untuk membersihkan sisa debu dari batu bara.

"Kenapa kamu... kenapa kamu repot-repot bantu aku begini?"

Hasan menatap saya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Teguh, kamu tahu... Waktu pertama kali datang ke sini, aku juga susah. Dingin, nggak punya uang, nggak tahu bahasa Jerman. Tapi ada orang yang bantu aku. Orang Turki juga, dia yang bikinin teh buat aku, kasih aku makan pas aku kelaparan... Aku nggak akan pernah lupa itu."

Saya terdiam, mencoba meresapi kata-katanya.

"Aku nggak bisa balas kebaikan orang itu," lanjut Hasan. "Tapi aku percaya... kebaikan itu nggak harus dibalas ke orang yang sama. Kadang, cara terbaik untuk membayar kebaikan adalah dengan menolong orang lain yang membutuhkan."

Hasan menatap saya dengan serius. "Jadi sekarang, aku bantu kamu. Nanti, kalau kamu sudah sukses, kamu cukup bantu orang lain yang butuh. Itu yang disebut karma... kebaikan berputar, paham?"

Saya mengangguk pelan, merasakan sesuatu yang hangat merambat di dada saya. "Iya... aku paham."

Mata saya mulai berkaca-kaca. "Aku... aku nggak tahu harus bilang apa."

"Kamu nggak perlu bilang apa-apa," Hasan menepuk bahu saya dengan hangat. "Cukup ingat ini saja."

Saya tersenyum tipis, berusaha menahan emosi yang mendesak di dada. Di tengah dinginnya Winter, Hasan dan tetangga-tetangga Turki lainnya adalah kehangatan yang tak ternilai. Mereka tidak sekadar memberi saya makan atau menjaga saya tetap hangat --- mereka memberi saya harapan dan kekuatan untuk menghadapi ujian yang menanti. Bagi saya, kebaikan mereka adalah pelita yang tak pernah padam di masa-masa sulit itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun