Suatu pagi, saya berdiri di peron U-Bahn Kottbuser Tor menunggu kereta menuju tengah kota. Udara pagi terasa menggigit. Orang-orang berdiri diam, sebagian membenamkan wajah mereka di balik syal tebal. Saya memandangi rel, berusaha mengabaikan rasa lapar yang mulai menggerogoti perut. Dari sudut mata, saya melihat Hasan berdiri tidak jauh dari saya.
"Teguh!" serunya, menghampiri saya dengan wajah cerah.
"Eh, Hasan! Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya saya, berusaha tersenyum meski tubuh saya terasa lemas.
"Ada urusan di Moritzplatz," jawabnya. "du allein?"
Saya mengangkat bahu. "Ke kampus. Sibuk banget sekarang, lagi nyiapin ujian Meister."
"Oh ya? Berat nggak?"
Saya menghela napas panjang. "Berat banget. Sampai nggak punya waktu buat kerja sampingan lagi. Duit makin tipis..."
"Astaga... Jadi kamu nggak makan cukup?"
Saya hanya tersenyum tipis, berusaha menutupi kekhawatiran saya. "Ya... beginilah. Aku baik-baik saja kok."
Hasan menatap saya lama, seolah memahami sesuatu yang saya coba sembunyikan. "Kalau butuh apa-apa, bilang saja, ya?"
"Terima kasih, Hasan... tapi aku nggak mau merepotkan."