Kereta datang, dan kami naik berbarengan. Hasan duduk di samping saya tanpa banyak bicara. Saya tak tahu saat itu bahwa Hasan benar-benar memikirkan ucapan saya.
Keesokan harinya, pintu apartemen saya diketuk. Saat saya buka, Hasan berdiri di depan pintu. Tangannya penuh membawa kebab, salad, dan roti hangat.
"Ini untukmu," katanya lirih.
Saya terpaku, tak tahu harus berkata apa. Mata saya panas, dan tanpa sadar air mata mulai menggenang. "Kamu... kamu nggak perlu repot-repot," ujar saya dengan suara bergetar.
"Kamu nggak bisa begini terus," katanya sambil masuk ke apartemen. Dia menatap sekeliling dan mengernyit. "Kenapa dingin sekali di sini?"
"Aku... nggak berani beli batu bara," jawab saya pelan.
Tanpa banyak bicara, dia hanya mengangguk paham. Keesokan harinya, dia datang lagi. Kali ini, dia membawa beberapa briket batu bara. Dan selama empat bulan berikutnya, dia dan para tetangga Turki lainnya bergantian membawa makanan dan batu bara untuk saya.
Suatu malam, Hasan datang membawa beberapa briket batu bara. Saat dia meletakkannya di sudut ruangan, saya menatapnya lama.
"Hasan," panggil saya pelan.
"Ya?" jawabnya sambil menepuk tangannya untuk membersihkan sisa debu dari batu bara.
"Kenapa kamu... kenapa kamu repot-repot bantu aku begini?"