Malam itu dingin. Angin berdesir pelan, menyapu daun-daun yang gugur seperti harapan yang pernah ia punya. Langit gelap, nyaris tanpa bintang, seolah semesta sedang turut berkabung atas kehilangan yang tak bisa ia terima. Di bawah langit yang muram itu, seorang lelaki berdiri sendiri, tubuhnya menggigil bukan karena cuaca, tapi karena gelombang sesal yang terus menghantam dadanya---tak henti, tak ampun.
Lelaki itu telah kehilangan perempuan yang ia cintai. Bukan karena ajal. Tapi karena kebodohannya sendiri. Kata-katanya yang kasar, sikapnya yang dingin, dan egonya yang tak pernah tahu batas telah mengikis cinta yang pernah tumbuh begitu indah di antara mereka. Hingga perempuan itu, yang dulu selalu menunggu dalam diam dan mencintai dalam sepi, memilih pergi. Kali ini bukan untuk menguji cinta. Tapi untuk menyelamatkan hatinya sendiri.
Dan kini, dalam sunyi yang menyayat, lelaki itu mulai berdoa. Bukan dengan kata-kata puitis. Bukan dengan bahasa indah yang biasa dibaca dari buku-buku cinta. Tapi dengan air mata. Dengan dada yang sesak. Dengan suara parau yang nyaris tak terdengar---karena tangisnya tak lagi butuh pendengar, hanya butuh pengampunan dari langit.
"Ya Tuhan... kembalikan dia padaku... Hanya dia yang aku mau. Hanya dia yang aku butuhkan..."
Tangannya terangkat, bukan sekadar simbol doa, tapi jeritan hati yang terangkat ke langit. Berkali-kali ia memohon, berkali-kali ia mengulang doa yang sama, seperti anak kecil yang tak tahu cara lain selain terus merengek agar Tuhan menoleh.
Ia tahu, doa bukanlah transaksi. Tapi ia juga tahu, Tuhan lebih peka dari siapa pun. Dan lelaki itu kini sedang bertaruh pada satu hal terakhir yang masih tersisa dalam dirinya: penyesalan yang tulus.
Dalam hatinya, ia tahu---perempuan itu bukan hanya seseorang yang pernah ia cintai. Dia adalah rumah. Tempat pulang. Tempat segala resah menemukan kehangatan. Ia bukan hanya kenangan, tapi bagian dari jiwa yang tidak bisa diganti oleh siapa pun. Perempuan itu adalah sosok yang diam-diam mendoakan ketika ia jatuh. Yang tersenyum dalam luka. Yang tetap bertahan ketika dunia menyuruhnya pergi. Tapi semua itu kini hanya bayang-bayang, karena lelaki itu telat menyadari: rumah pun bisa pergi, jika tak pernah dihargai.
Dia menjerit dalam doa, bukan karena ingin mengulang masa lalu. Tapi karena ingin memperbaiki masa depan yang masih bisa diperjuangkan. Bukan untuk mempermanis cerita, tapi untuk membuktikan bahwa cinta bisa belajar. Bahwa seorang lelaki bisa berubah, jika ia benar-benar kehilangan bagian terbaik dari hidupnya.
"Beri aku kesempatan kedua, Tuhan..." bisiknya lagi, kali ini lebih lirih, seperti daun kering yang jatuh di tanah yang sepi. "Aku tak ingin mencari lagi. Tak ingin mencoba lagi. Karena aku tahu, dia adalah akhir dari semua pencarian..."
Ia tak butuh wanita lain. Tak ingin cinta baru. Tak percaya lagi pada konsep "waktu akan menyembuhkan". Karena dia tahu, tak semua luka perlu disembuhkan. Ada luka yang cukup disimpan, karena di baliknya, ada cinta yang tak tergantikan.
Dalam pengakuan yang jujur itu, dia tak menuntut Tuhan untuk mengabulkan. Tapi ia tetap berharap---karena kadang harapan adalah satu-satunya cahaya yang tersisa ketika cinta sudah hilang arah.
Dan siapa tahu? Tuhan bisa saja mendengar lebih dalam dari sekadar kata. Mungkin Tuhan sedang menimbang hati yang benar-benar patah. Mungkin doa yang terus ia ulang di setiap malam sunyi adalah kunci untuk membuka pintu yang sempat tertutup.
Karena cinta yang sejati, kadang memang perlu tersesat dulu untuk tahu jalan pulang.
Dan lelaki itu tahu... jika diberi kesempatan kedua, ia akan mencintai bukan hanya dengan hati, tapi dengan jiwa yang telah belajar betapa berharganya kehilangan. Ia akan memeluk perempuan itu bukan hanya untuk memilikinya, tapi untuk menjaganya, merawatnya, sampai napas terakhir dalam hidupnya. Sampai akhir hayat.
Karena bagi lelaki itu, cinta bukan tentang siapa yang paling hebat menulis puisi. Tapi siapa yang paling dalam menyesali kesalahan, dan berani memohon kepada Tuhan, bahkan dengan air mata yang tak henti mengalir---demi satu nama: rumah terakhirnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI