"Dentang jam lantai tak lagi sekadar penanda waktu—ia menjadi gema doa, pelipur rindu, dan bisikan pulang yang tak terucap."
Suara lonceng itu berdentang dua belas kali. Gemanya merambat pelan menyusuri sela-sela papan rumah, lalu menyusup ke sela nafas Pak Ngadenan yang kini semakin pendek. Jam lantai itu berdiri seperti penjaga waktu yang terlalu setia. Tingginya hampir dua meter, dengan badan dari kayu jati yang sudah menghitam oleh usia dan debu. Kaca bagian depannya sedikit retak di ujung bawah, namun jarum-jarumnya tetap berjalan tanpa kompromi.
Pak Ngadenan duduk di kursi rotan yang mulai meretak. Ia menatap dinding di depannya, tepat pada kalender yang sudah tinggal satu helai. Bulan Desember. Ada lingkaran merah di tanggal sepuluh, yang ia buat sendiri dengan bolpoin merah bertahun lalu. Tertulis: Berangkat.
Itu tahun 2020.
Waktu itu, kantor Kemenag mengumumkan bahwa ia masuk daftar keberangkatan haji. Ia menangis sendirian di dapur, di samping cerek yang baru saja mendesis. Ia ingat menyalakan semua lampu malam itu, seperti ada tamu besar yang akan datang. Tapi bukan tamu, yang datang justru kabar: "ditunda karena pandemi." Begitu singkatnya. Hanya tiga kata, tapi mampu menjatuhkan harapan yang sudah berdiri puluhan tahun.
Ia membatalkan niat membeli koper baru. Menyimpan kembali kain ihram yang sudah dilipat rapi. Semua doa yang dulu ia lantunkan setiap subuh, serta semangat talbiyah yang ia dendangkan di setiap tarikan nafasnya kini mengecil nadanya. Kadang hanya sebisikan. Kadang, tidak sama sekali.
Di rumah itu, yang paling setia justru jam lantai.
Dulu, istrinya, Bu Ngaisah, yang selalu menyetel ulang jam itu. Membersihkan kacanya, mengoles minyak ke engsel pintu kecil di bagian bawah, dan mengganti baterai lampu sorot di dalamnya. Sekarang, lampu itu padam. Tapi loncengnya tetap berdentang. Tiga kali saat pagi, enam kali ketika matahari condong ke barat, dan dua belas kali saat malam mengembang seperti bisikan doa yang tak dijawab.
Pak Ngadenan bukan lelaki yang mudah putus asa. Ia pernah mengajar anak-anak SD sampai pensiun. Namun, menunggu haji membuat waktu terasa seperti ruang tunggu panjang yang tidak ada pengumuman berikutnya.
"Pak, daftar cadangan tetap bisa berangkat, asal sehat," begitu kata petugas Kemenag waktu dia datang menanyakan kabar dua tahun lalu.