Namun kali ini, ada sesuatu yang berubah.
Di ujung lorong, sesosok bayangan berdiri membelakanginya. Tidak bergerak, tidak bersuara. Edo menahan napas, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Ia mencoba melangkah maju, tetapi setiap kali ia mendekat, bayangan itu tampak semakin jauh, seperti fatamorgana yang menari di ujung pandangan.
Kemudian, suara itu datang.
Pelan, hampir seperti bisikan yang bersembunyi di antara suara langkahnya sendiri.
"Kau harus ingat."
Edo tersentak bangun.
Jantungnya masih berpacu, keringat membasahi leher dan punggungnya. Napasnya memburu, seolah ia benar-benar telah berlari dalam lorong itu.
Tapi yang membuatnya benar-benar terguncang bukanlah mimpi itu sendiri.
Di jendela kamarnya, samar-samar, jejak embun membentuk sesuatu—bekas huruf yang seakan baru saja dituliskan seseorang dari sisi lain kaca.
"Kau harus ingat."
Edo menelan ludah. Untuk pertama kalinya sejak ia berada di tempat ini, ia benar-benar merasa takut.