"Di dalam lorong itu, Edo mencari jalan keluar—tanpa menyadari bahwa ia mungkin tak pernah benar-benar masuk."
Langit di luar jendela kamar Edo berwarna abu-abu kusam, seolah waktu di rumah sakit ini hanya mengenal senja yang enggan beranjak. Ia sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali melihat matahari benar-benar bersinar di langit, atau merasakan angin yang datang tanpa sekat kaca di hadapannya. Di tempat ini, hari-hari berlalu dalam siklus yang sama—obat-obatan yang diberikan dengan takaran pasti, sesi terapi yang membahas hal yang sama, dan makan malam dengan rasa yang tak pernah berubah.
Edo seharusnya merasa lebih baik. Itulah yang dikatakan para perawat, dengan senyum yang terasa terlalu dibuat-buat. "Pemulihan memerlukan waktu," kata mereka, suaranya lembut tetapi kosong.
Namun, sesuatu terasa salah.
Ia sering terbangun di tengah malam dengan keringat dingin membasahi tengkuknya. Setiap kali ia tidur, ia kembali ke tempat itu—lorong panjang yang gelap, hanya diterangi oleh lampu redup yang berkedip-kedip. Di kedua sisi, berjejer pintu-pintu kayu dengan gagang besi yang dingin di tangannya. Ia mencoba membukanya satu per satu, tetapi tidak ada yang bisa bergerak.
Ia berjalan, langkahnya bergema di lantai yang terasa terlalu keras. Lorong ini seolah tak berujung, seperti melingkar kembali ke tempat awal tanpa ia sadari.
Dan yang lebih aneh, ia tahu betul lorong ini.
Tidak dalam ingatannya yang sadar, tetapi dalam sesuatu yang lebih dalam dari itu—sebuah kenangan yang samar, terbungkus kabut tipis di sudut pikirannya.
Suatu malam, ia mencoba tetap terjaga. Ia menatap ke luar jendela, berharap melihat sesuatu yang bisa memberinya rasa nyata, sesuatu yang bisa membuktikan bahwa dunia ini masih bekerja sebagaimana mestinya. Tetapi yang ia lihat hanyalah pantulan dirinya sendiri di kaca, dengan mata yang semakin kosong dari hari ke hari.
Ketika akhirnya ia terlelap, mimpi itu datang lagi.
Namun kali ini, ada sesuatu yang berubah.
Di ujung lorong, sesosok bayangan berdiri membelakanginya. Tidak bergerak, tidak bersuara. Edo menahan napas, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Ia mencoba melangkah maju, tetapi setiap kali ia mendekat, bayangan itu tampak semakin jauh, seperti fatamorgana yang menari di ujung pandangan.
Kemudian, suara itu datang.
Pelan, hampir seperti bisikan yang bersembunyi di antara suara langkahnya sendiri.
"Kau harus ingat."
Edo tersentak bangun.
Jantungnya masih berpacu, keringat membasahi leher dan punggungnya. Napasnya memburu, seolah ia benar-benar telah berlari dalam lorong itu.
Tapi yang membuatnya benar-benar terguncang bukanlah mimpi itu sendiri.
Di jendela kamarnya, samar-samar, jejak embun membentuk sesuatu—bekas huruf yang seakan baru saja dituliskan seseorang dari sisi lain kaca.
"Kau harus ingat."
Edo menelan ludah. Untuk pertama kalinya sejak ia berada di tempat ini, ia benar-benar merasa takut.
Di dalam rumah sakit, waktu terasa seperti kabut tipis yang melayang tanpa arah. Tidak ada pagi yang benar-benar terasa seperti awal, tidak ada malam yang sungguh membawa akhir. Langit di luar tetap abu-abu, seolah matahari hanya mitos yang diceritakan oleh mereka yang masih percaya bahwa dunia ini nyata.
Edo duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong ke arah jendela. Jejak embun yang ia lihat tadi malam telah lenyap, tetapi bayangan kata-kata itu masih membekas dalam benaknya. "Kau harus ingat."
Ia tidak tahu apa yang harus diingat. Atau mungkin, lebih tepatnya, ia takut untuk mengingatnya.
Di luar, langkah kaki perawat berlalu-lalang di koridor, irama mereka seragam dan tanpa makna. Edo menunduk, merasakan dinginnya lantai yang merembes melalui ujung kakinya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan, dan seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu.
"Pak Edo?"
Suara itu lembut, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang berbeda dari perawat lain—tidak terasa terlalu dibuat-buat. Ia mengangkat wajahnya, menatap perempuan itu. Wajahnya asing, tetapi ada sesuatu yang familiar dalam sorot matanya.
"Aku Dina. Aku baru mulai bekerja di sini minggu lalu," katanya sambil melangkah masuk. Tangannya membawa sebuah buku catatan berwarna cokelat tua, lusuh di bagian tepinya. "Aku menemukan ini di gudang belakang. Ada namamu di dalamnya."
Edo menatap buku itu.
Gudang belakang? Ia tidak pernah merasa memiliki buku seperti itu, apalagi menyimpannya di tempat yang bahkan ia sendiri tidak tahu keberadaannya. Tapi rasa ingin tahu mengalahkan keraguannya. Ia meraih buku itu, membuka halaman pertamanya.
Goresan tinta hitam memenuhi halaman-halamannya, tulisannya rapi tetapi ada getar samar dalam garis-garisnya—seperti ditulis oleh tangan yang tidak sepenuhnya stabil. Lembar demi lembar ia lewati tanpa mengerti, sampai sebuah gambar menarik perhatiannya.
Lorong itu.
Digambar dengan detail yang mencengangkan—lampu redupnya, pintu-pintu kayu yang tertutup rapat, bayangan gelap yang bersembunyi di ujungnya. Dan di antara garis-garis tinta yang membentuk lorong itu, ada sesuatu yang lain.
Sebuah pintu yang sedikit terbuka.
Di bawahnya, tulisan kecil tergores samar: "Hanya dengan mengingat, kau bisa keluar."
Jantung Edo berdetak lebih cepat. Tangannya mencengkeram buku itu erat-erat.
"Pak Edo?" Dina bersuara lagi, suaranya terdengar khawatir. "Apa Bapak baik-baik saja?"
Edo mengangkat wajahnya. Sekilas, ia menangkap sesuatu di mata Dina—seperti bayangan ketakutan yang berusaha disembunyikan.
"Apa kau tahu... siapa yang menulis ini?" tanyanya.
Dina menggeleng. "Aku tidak yakin. Tapi saat menemukannya, aku merasa... aneh."
Edo kembali menatap buku itu. Pintu yang terbuka dalam gambar itu seperti panggilan, seperti sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.
Malam itu, ia kembali ke dalam mimpi yang sama.
Lorong itu tidak berubah, masih sama panjangnya, masih dengan lampu yang berkedip-kedip di langit-langitnya. Tapi kali ini, ia melihat sesuatu yang baru.
Salah satu pintu, yang sebelumnya selalu tertutup rapat, kini sedikit terbuka.
Dan dari celah itu, sesuatu mengintip ke arahnya.
Lorong itu terasa lebih dingin malam ini.
Edo berdiri di tengahnya, napasnya tersengal-sengal meski ia tidak merasa berlari. Cahaya lampu di atasnya berkelip seperti bintang sekarat, menciptakan bayangan yang bergerak di dinding. Tapi ia tidak peduli pada semua itu. Yang menarik perhatiannya hanya satu hal: pintu yang sedikit terbuka di ujung lorong.
Jantungnya berdetak kencang.
Selama ini, semua pintu selalu tertutup. Tapi sekarang, ada satu yang memberinya celah untuk melihat ke dalam. Dan lebih dari itu, Edo merasa bahwa pintu ini adalah sesuatu yang telah lama menunggunya.
Tangan Edo terangkat, jari-jarinya menyentuh kayu dingin yang terasa kasar di bawah sentuhan. Ia mendorongnya pelan. Engsel pintu mengeluarkan suara berderit panjang, seperti desahan tua yang telah menunggu terlalu lama untuk dibuka.
Gelap.
Tidak ada apa-apa di dalam, hanya kegelapan yang pekat seperti sumur tanpa dasar. Namun, saat Edo melangkah lebih dekat, sebuah suara datang dari dalam—bukan bisikan kali ini, tetapi suara yang lebih nyata, lebih dekat.
"Kau sudah terlalu lama di sini."
Edo terhenti. Suara itu bukan hanya sekadar suara. Itu adalah suaranya sendiri.
Ia mencoba melangkah mundur, tetapi lorong di belakangnya telah berubah. Sekarang, ia berdiri di ruangan putih dengan dinding-dinding yang terlalu bersih, terlalu sempurna. Bau desinfektan menyeruak ke dalam hidungnya, tajam dan menusuk, membangkitkan sesuatu yang samar dalam ingatannya.
Ruangan ini...
Tidak, ini tidak mungkin.
Edo berbalik. Kini di depannya bukan lagi pintu kayu yang tua, melainkan sebuah cermin besar. Dan di dalam cermin itu, ia melihat dirinya sendiri. Tapi ada sesuatu yang aneh—pantulannya tidak mengikuti gerakannya dengan sempurna.
"Edo," suara lain datang dari belakangnya.
Ia menoleh cepat. Seorang pria berdiri di sana, mengenakan jas putih dengan clipboard di tangannya. Wajahnya tampak familiar, tetapi Edo tidak bisa mengingat namanya.
"Sudah cukup," kata pria itu. "Kau harus kembali."
Edo menggeleng. "Kembali ke mana?"
Pria itu menghela napas. "Ke kenyataan."
Kenyataan?
Kata itu terasa asing baginya. Bukankah ini nyata? Bukankah ia berada di rumah sakit, mencoba memahami apa yang terjadi pada dirinya? Tetapi semakin ia berpikir, semakin kabur semuanya.
Rumah sakit.
Perawat-perawat itu.
Langit abu-abu yang tidak pernah berubah.
Lorong dalam mimpinya.
Semuanya mulai melebur, seperti cat air yang dilarutkan hujan.
Edo mencengkeram kepalanya. Sesuatu di dalam dirinya berteriak, mencoba menolak kebenaran yang perlahan terbuka.
Dan lalu, segalanya menjadi jelas.
Rumah sakit itu tidak pernah ada.
Para perawat itu hanya bayangan dalam pikirannya.
Lorong itu adalah tempat yang ia ciptakan sendiri—sebuah penjara yang dibuat oleh pikirannya untuk mengurungnya dalam siklus tanpa akhir.
Ia tidak sedang bermimpi. Ia tidak sedang dalam perawatan. Ia tidak sedang mencari jawaban.
Ia adalah pasien.
Ia telah lama berada di dalam fasilitas perawatan jiwa, terperangkap dalam pikirannya sendiri, membangun dunia yang tidak ada untuk melarikan diri dari sesuatu yang tidak ingin ia ingat.
Cermin di depannya mulai retak. Satu persatu kepingan jatuh, mengungkapkan kegelapan di baliknya.
Dan akhirnya, Edo tersenyum kecil.
Karena sekarang ia tahu.
Lorong itu tidak pernah ada. Rumah sakit itu hanya imajinasi. Dan ia...
Ia tidak akan pernah bisa keluar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI