Ia mencoba melangkah mundur, tetapi lorong di belakangnya telah berubah. Sekarang, ia berdiri di ruangan putih dengan dinding-dinding yang terlalu bersih, terlalu sempurna. Bau desinfektan menyeruak ke dalam hidungnya, tajam dan menusuk, membangkitkan sesuatu yang samar dalam ingatannya.
Ruangan ini...
Tidak, ini tidak mungkin.
Edo berbalik. Kini di depannya bukan lagi pintu kayu yang tua, melainkan sebuah cermin besar. Dan di dalam cermin itu, ia melihat dirinya sendiri. Tapi ada sesuatu yang aneh—pantulannya tidak mengikuti gerakannya dengan sempurna.
"Edo," suara lain datang dari belakangnya.
Ia menoleh cepat. Seorang pria berdiri di sana, mengenakan jas putih dengan clipboard di tangannya. Wajahnya tampak familiar, tetapi Edo tidak bisa mengingat namanya.
"Sudah cukup," kata pria itu. "Kau harus kembali."
Edo menggeleng. "Kembali ke mana?"
Pria itu menghela napas. "Ke kenyataan."
Kenyataan?
Kata itu terasa asing baginya. Bukankah ini nyata? Bukankah ia berada di rumah sakit, mencoba memahami apa yang terjadi pada dirinya? Tetapi semakin ia berpikir, semakin kabur semuanya.