Pagi itu, matahari menyelinap masuk melalui jendela kecil rumah kontrakan mereka, menyorot kain gorden tipis yang berkibar pelan diterpa angin. Dapur masih beraroma kopi yang dibuat Ardi sebelum berangkat kerja semalam. Di meja kayu sederhana, ada cangkir kosong dan beberapa remah roti. Sepi.
Nia duduk di kamar mandi, menatap benda kecil di tangannya. Dua garis merah. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan dadanya menghangat oleh kebahagiaan yang hampir tak tertahankan. Empat tahun. Empat tahun menunggu momen ini. Ia ingin segera berlari ke Ardi, mengguncang bahunya, membiarkan air mata haru mengalir, dan melihat binar bahagia di matanya.
Tapi ia menahan diri. Tidak. Ia ingin memberi kejutan. Kejutan yang manis.
Ia bangkit, mencuci wajahnya, lalu keluar dari kamar mandi dengan langkah yang lebih ringan dari biasanya. Di dapur, ia mengaduk susu dengan senyum kecil yang terus mencoba menyelinap di bibirnya. Tetapi, rencana tetap rencana. Ia harus bertindak seperti biasa.
Ketika Ardi pulang pagi itu, wajahnya tampak lelah. Seragamnya masih menyimpan sisa bau pabrik dan keringat yang bercampur dengan udara dingin subuh. Biasanya, Nia akan menyambutnya dengan teh hangat, tetapi kali ini ia hanya melirik sekilas dan kembali sibuk di dapur.
Ardi mengernyit. "Pagi," katanya pelan.
Nia hanya mengangguk.
Ardi duduk di kursi kayu tua yang berderit. "Kamu kenapa?"
Nia tidak menjawab.
Ardi mencoba mendekat, menyentuh bahunya, tetapi Nia beringsut menjauh, pura-pura sibuk mencuci piring. Ada jeda panjang, sebelum akhirnya Ardi menghela napas dan melepas sepatu. "Aku tidur sebentar ya, capek banget."