Kegembiraan yang Berubah Jadi Teror
Malam itu, Sari merasa anaknya bergerak lebih aktif dari biasanya. Tendangan-tendangan kecil itu seolah memberi tanda, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak bisa diucapkan. Ia membelai perutnya, tersenyum. Bayu duduk di sebelahnya, membaca doa-doa yang selalu ia ucapkan sebelum tidur.
"Besok atau lusa, kita akan bertemu dengannya," kata Bayu, suaranya penuh harapan.
Sari mengangguk. Namun, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang mengganjal. Sejak sore tadi, ia merasa dadanya sesak tanpa sebab. Seperti ada kabut tipis yang menyelimuti pikirannya.
Malam semakin larut. Angin berhembus lewat jendela yang setengah terbuka, membawa aroma tanah basah setelah hujan siang tadi. Sari terlelap, tetapi tidurnya gelisah. Ia bermimpi. Dalam mimpi itu, ia melihat seorang perempuan tua berdiri di depan rumahnya. Wajahnya keriput, matanya kosong, tangannya menggenggam sesuatu yang menyerupai benang merah panjang. Perempuan itu tersenyum samar, lalu berbisik, "Waktunya pulang."
Sari terbangun dengan napas memburu. Ruangan masih gelap, hanya diterangi cahaya rembulan yang mengintip dari sela-sela genting. Tangannya refleks meraba perutnya. Masih ada. Masih besar dan kokoh.
Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Itu hanya mimpi. Hanya mimpi.
Namun, ketika pagi menjelang, mimpi itu bukan sekadar bunga tidur.
Sari terbangun oleh rasa aneh di tubuhnya. Bukan nyeri, bukan kontraksi seperti yang sering diceritakan ibu-ibu di desa. Lebih seperti kekosongan. Tubuhnya terasa ringan, terlalu ringan.
Ketika ia menatap ke bawah, sesuatu yang mustahil terjadi.