Murka Arya Penangsang
Kadipaten Jipang, sore hari. Langit barat memerah, seakan ikut menyulut api yang bergolak di dalam hati seorang bangsawan muda. Arya Penangsang duduk di balairungnya, wajahnya merah padam, sorot matanya tajam seperti bilah keris yang baru diasah.
Di hadapannya, seorang prajurit berlutut, menyampaikan kabar dari Demak.
"Gusti Adipati... Sultan Trenggana telah mengangkat Jaka Tingkir menjadi Senopati Muda."
Sekejap hening. Lalu terdengar dentuman keras. Arya Penangsang menghantam meja kayu di depannya hingga piala tembaga berisi tuak tumpah berceceran ke lantai.
"Apa? Anak desa itu? Seorang gembel dari Tingkir diangkat jadi senopati?" suaranya menggelegar.
Prajurit itu gemetar, menunduk dalam-dalam. "Inggih, Gusti... demikian titah Sultan."
Arya Penangsang berdiri, dadanya naik-turun menahan amarah. Ia melangkah mondar-mandir, jubah hitamnya berayun, kain batiknya terseret lantai.
"Tidak cukupkah Sultan Trenggana mempermalukan darah bangsawan? Tidak cukupkah fitnah keris yang dilemparkan kepadaku? Kini dia menobatkan anak piatu, bekas penggembala kerbau, jadi senopati?!"
Bayang-Bayang Keris
Arya Penangsang berhenti melangkah, menatap ke arah dinding balairung tempat sebilah keris tergantung. Keris itu berlukiskan naga pada ukirannya, hampir serupa dengan keris yang disebut-sebut ditemukan Jaka Tingkir di kapal perompak.