Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Shalat

11 Agustus 2020   06:33 Diperbarui: 11 Agustus 2020   06:34 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu, di depan kantor pengurus pesantren, duduk dua orang santri yang ngobrol di teras setelah baru saja sampai dari bepergian. Kantor itu berdekatan dengan masjid, hampir berhimpitan, hanya dipisahkan dengan lorong kecil yang hanya dapat dilalui dua orang berjajar, atapnya menyatu, sehingga orang yang lewat di bawahnya waktu hujan tidak perlu takut akan kebasahan.

Jamaah shalat dzuhur sudah selesai, dan para jamaah yang kebanyakan adalah santri juga, sudah kembali, beristirahat atau melanjutkan dzikir di kamar masing-masing. Hanya beberapa orang yang masih tinggal di Masjid, mereka biasanya para santri senior dan juga pak Kiai.

"Ayo shalat Mad." Salah seorang mengajak temannya setelah dirasa lelahnya hilang.

"Entarlah Dul, aku lagi enggak selera." Santri yang ternyata bernama Ahmad menjawab ogah-ogahan.

"Ah kamu itu, nanti-nanti jadi kebiasaan, kamu jadi suka menunda waktu." Abdul mencoba menasehati.

"Biarin, aku belum minat shalat, masih malas, tidak bergairah. Lagian, dapat apa kalau shalat dengan malas." Ahmad merebahkan tubuhnya di bangku panjang depan kantor tersebut.

Siang itu memang panas, dan angin yang membelai pelan, membuat siapa pun enggan untuk beranjak.

"Eh, kamu kok kayak gitu."

"Ya iya, coba kalau  aku shalat, terus gak ihklas, shalat karena terpaksa, kan malah dapat capeknya tok." Ahmad mencoba membela diri.

"Ya, tapi siapa sih yang kasih balasan pahala? Kan Gusti Allah, mana boleh kita intervensi kepada Beliau." Dengan nada persis seorang guru, Abdul sudah mulai berusaha menggunakan istilah-istilah ilmiah. Intervensi.

"Ya, betul itu, tapi kan juga ada indikasi, atau prasaratnya, setidaknya kalau sudah sesuai sarat rukunnya, ibadah kita ada peluang untuk diterima." Ternyata Ahmad tidak mau kalah, mereka sangat mahir menempatkan istilah-istilah ilmiah tersebut. Indikasi. Tidak sia-sia mereka ikut berorganisasi di pesantren itu, setidaknya tahu istilah ilmiah dan paham dimana meletakkannya.

"Tapi baiknya kan shalat di awal waktu."

"Iya, tapi kalau di awal waktu lagi gak siap, ya mending nanti, yang penting masih di dalam waktu shalatnya, iya kan?" Ahmad menjawab dengan tak mengacuhkan temannya, dia mecoba mengatupkan kelopak matanya.

"Terserahlah, aku mau shalat sekarang aja." Abdul merasa sudah tak ada guna mengajak temannya itu. Ia pun beranjak melangkah untuk shalat.

"Ya, silahkan, salam ya buat malaikat yang nulis ibadah shalatmu, bilang kalau aku telat dikit shalatnya." Tanggapan Ahmad membuat Abdul mengurungkan niatnya untuk terus melangkah ke ke Masjid, ia merasa Ahamad sudah keterlaluan. Ia kembali dan berujar memperingatkan dengan sedikit keras.

"Heh, kamu gak boleh main-main dengan seperti itu, kualat kapok kamu!"

"Ha ha ha. Kualat? Apa itu? Itu bahasa tahayul. Insyaflah Dul. Syahadat lagi kamu." Dengan nada bercanda Ahmad masih menanggapi sahabatnya dengan mata terpejam menikmati belaian angin siang yang menyejukkan. Tapi agaknya Abdul merasa diremehkan.

"Kamu yang seharusnya syahadat lagi, Tuhan kok dipermainkan. Bisa jadi kafir kamu Mad." Mendengar perkataan Abdul, kontan Ahmad bangun dan menatap tajam temannya itu. Ia merasa itu sudah sangat keterlaluan.

"Oit.... Kafir?! Aduh, Dul. Boleh kamu bilang aku kurang ajar. Boleh kamu bilang aku malas. Tapi, tapi, kafir...?! Aduh, janganlah Dul. Itu adalah sebutan yang paling buruk, tau gak sih kamu...?!" Ahmad berkata-kata seperti tak percaya ucapan temannya itu.

"Tau, tapi itu memang yang pantas buat kamu. Pantas buat orang yang mempermainkan Tuhan dan tidak patuh pada apa yang diperintahkan. Gak mau shalat hanya karena malas. Uh memalukan!" Abdul kembali beranjak untuk menuju tempat wudlu, namun tertahan dengan ucapan Ahmad.

"Eh Dul. Jaga mulut kamu kalau bicara. Jelek-jelek gini, aku masih percaya sama Gusti yang maha Agung. Imanku masih lengkap. Keyakinanku masih penuh. Kamu jangan seenaknya nuduh kayak gitu. Aku Islam tulen, jangan kau kafirkan aku hanya karena malas. Jangan-jangan kamu yang kafir, shalat dan banyak ibadah hanya karena menuhankan pahala. Tuhan sendiri tak pentingkan bagimu...?!" Ahmad mulai menunjuk-nunjukkan jarinya, persis seperti orang yang sedang berorasi.

"Mad, kamu sudah keterlaluan. Dinasehatin baik-baik, malah nantang adu ilmu. Aku ini juga sudah banyak ngaji, sama seperti kamu. Kok bisa-bisanya kamu menggurui aku. Emang siapa kamu...!" Habis berkata-kata, Abdul benar-benar bulat melangkah ke masjid, ia tidak lagi mungkin melayani temannya yang ia anggap pemalas itu, sampai akhirnya ia merasa perlu untuk kembali ketika mendengar ejekan Ahmad.

"Memang Dul, hati yang mati kayak kamu, sulit menerima kebenaran."

Dengan wajah memerah, Abdul berbalik dan dengan suara keras ia melabrak teman satu kamarnya itu.

"Apa...?!! Coba ulang sekali lagi, kebenaran..?! Kebenaran macam apa yang kau sampaikan. Kebenaran tentang menunda shalat hanya karena malas. Atau kebenaran untuk mempermainkan Tuhan...?!"

"Jangan salah tangkap kamu Dul." Ahmad mencoba menguasai keadaan dengan tidak ikut-ikutan menggunakan suara tinggi karena emosi. Ia tahu ekspresi Abdul benar-benar menampakkan kemarahan.

"Apanya yang salah tangkap, apanya? Hah! Yang berhati mati itu kamu, yang selalu dikuasai hawa nafsu. Hingga malas melakukan ibadah apalagi shalat. Sadarlah kamu itu Mad." Agaknya emosi Abdul sudah tak terbendung lagi, hingga  kata-katanya pun tak lagi dapat terkontrol.

"Dul! Meskipun aku tampak malas gini, tak ada satu setanpun yang menyuruhku untuk menunda shalat. Tau kamu itu. Hanya saja, hatiku memang belum siap untuk melakukan shalat." Ahmad mulai ikut gerah juga. Ia merasa direndahkan.

"Hah! Siapa yang berani jamin kalo gak ada setan dihatimu. Jangan-jangan hatimu sudah dipenuhi setan, hingga kamu sudah tak bisa bedakan mana suara hatimu mana suara setan, karena sama-sama busuknya." Kata-kata Abdul terus saja menerjang  membuat kuping Ahmad makin lama makin merah menahan amarahnya.

"Kamu lama-lama pantas dihajar juga ya!"

"Nah kan, terbukti. Mana kata hatimu? Mana ada hati yang menyuruh mukul orang. Itu setan Mad. Kamu harus sadar itu. Sadar... Eliiiing!" Abdul menunjuk-nunjuk kepalanya sendiri, menguatkan tanda bagi Ahmad untuk menggunakan pikirannya kembali.

Mereka sekarang benar-benar emosi, suara mereka terdengar jelas sampai dalam masjid.

"Ini bukan suara setan. Tapi suara hati yang ingin membungkam mulut setan karena banyak omong kayak kamu!"

"Heh, jangan samain aku sama kamu dong. Boleh kamu emosi. Marah mau mukul. Silahkan. Tapi kalo sampe nyentuh sedikit aja kulitku, jangan salahkan aku, aku juga bisa kalo cuman bikin kamu mampus...!"

"Makin sombong aja kamu!"

"Bukannya sombong. Kemungkaran memang harus dibasmi. Bukan hanya dengan lidah, tapi kadang harus juga pake bogem mentah kayak gini!" Abdul mengacungkan genggamannya kepada Ahmad yang saat itu juga sudah siap dengan tangan mengepal dibelakang.

"Oke. Ayo kita buktikan!"

Pertarungan mulut telah usai. Sekarang hanya dua tubuh yang saling menghujankan pukulan, berguling-guling, tak ada suara kesakitan, hanya terdengar teriakan geram dan suara pukulan.

"Ahmad, Abdul... berhenti!" Terdengar suara keras dari teras Masjid. Seorang dengan sarung dan sorban masih melilit di leher dilengkapi kopyah hijau yang bertengger nyaman di atas kepalanya. Pak Kiai.

"Apa-apan kalian itu. Memalukan!"

Ahmad dan Abdul hanya bisa diam. Mereka takut dan malu.

"Saya tadi sudah dengar masalah kalian, jadi tidak perlu ada penjelasan. Kalian masih muda, sehingga wajar ini terjadi. Tetapi yang buat malu saya adalah, ternyata kalian belum sepenuhnya mampu menyerap ilmu dengan benar."

Pak Kiai memperhatikan mereka yang nafasnya masih memburu, entah karena emosi yang belum reda, atau karena lelah telah bergulat.

"Sekarang kalian saling memaafkan. Kemudian ambil air wudlu, shalat dzuhur dulu. Sudah hampir habis waktunya, sebentar lagi mau asar."

Dengan wajah menunduk malu, merekapun bersalaman dan kemudian mengambil air wudlu. Sebelumnya mereka membersihkan debu-debu yang masih belebotan di tubuh mereka. Sesaat Abdul melirik Ahmad, ia tersenyum yang diikuti senyum lebar Ahmad. Ah betapa indah persaudaraan. 

Akhirnya mereka Shalat Dzuhur berjamaah. Ahmad menjadi Imam. Katanya saat itu dia sedang bergairah untuk shalat, dan Abdul dengan Ikhlas menjadi makmum. Selang tiga puluh menit setelah shalat, adzan asar berkumandang.

Jogja, 2006

*Cerpen ini pernah dipublikasikan dalam Majalah PesanTrend Edisi 4 Tahun I, Agustus 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun