"Memang Dul, hati yang mati kayak kamu, sulit menerima kebenaran."
Dengan wajah memerah, Abdul berbalik dan dengan suara keras ia melabrak teman satu kamarnya itu.
"Apa...?!! Coba ulang sekali lagi, kebenaran..?! Kebenaran macam apa yang kau sampaikan. Kebenaran tentang menunda shalat hanya karena malas. Atau kebenaran untuk mempermainkan Tuhan...?!"
"Jangan salah tangkap kamu Dul." Ahmad mencoba menguasai keadaan dengan tidak ikut-ikutan menggunakan suara tinggi karena emosi. Ia tahu ekspresi Abdul benar-benar menampakkan kemarahan.
"Apanya yang salah tangkap, apanya? Hah! Yang berhati mati itu kamu, yang selalu dikuasai hawa nafsu. Hingga malas melakukan ibadah apalagi shalat. Sadarlah kamu itu Mad." Agaknya emosi Abdul sudah tak terbendung lagi, hingga  kata-katanya pun tak lagi dapat terkontrol.
"Dul! Meskipun aku tampak malas gini, tak ada satu setanpun yang menyuruhku untuk menunda shalat. Tau kamu itu. Hanya saja, hatiku memang belum siap untuk melakukan shalat." Ahmad mulai ikut gerah juga. Ia merasa direndahkan.
"Hah! Siapa yang berani jamin kalo gak ada setan dihatimu. Jangan-jangan hatimu sudah dipenuhi setan, hingga kamu sudah tak bisa bedakan mana suara hatimu mana suara setan, karena sama-sama busuknya." Kata-kata Abdul terus saja menerjang  membuat kuping Ahmad makin lama makin merah menahan amarahnya.
"Kamu lama-lama pantas dihajar juga ya!"
"Nah kan, terbukti. Mana kata hatimu? Mana ada hati yang menyuruh mukul orang. Itu setan Mad. Kamu harus sadar itu. Sadar... Eliiiing!" Abdul menunjuk-nunjuk kepalanya sendiri, menguatkan tanda bagi Ahmad untuk menggunakan pikirannya kembali.
Mereka sekarang benar-benar emosi, suara mereka terdengar jelas sampai dalam masjid.
"Ini bukan suara setan. Tapi suara hati yang ingin membungkam mulut setan karena banyak omong kayak kamu!"