Mohon tunggu...
SutrisnoPenadebu
SutrisnoPenadebu Mohon Tunggu... Kepala unit

Terlahir dengan hobi menulis apa saja. namun tetap selektif karena menulis menebar keabadian. maka tulislah dari segala kebaikan ( Sutrisno-Penadebu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu yang Harus Ditahan

18 September 2025   06:54 Diperbarui: 18 September 2025   06:54 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Martin duduk di bangku taman, memangku putrinya yang baru berusia lima tahun. Wajah mungil itu tengah asyik menggambar dengan krayon di buku kecilnya, sementara Nayla duduk di sebelah mereka, sesekali membetulkan topi anaknya yang miring.

Tawa mereka bertiga berpadu lembut dengan suara burung senja, membentuk harmoni yang dulu tak pernah Martin bayangkan.

Tiba-tiba, dari seberang jalan taman, mata Martin menangkap sosok yang sangat dikenalnya---walau waktu telah mengubah cara berjalannya, cara menundukkan kepala, bahkan kerutan lembut di sekitar matanya.

Andin.

Ia berjalan pelan, menggandeng dua anak kecil, dan di sampingnya seorang pria berwajah teduh yang tampak menjadi sandarannya kini. Mereka tertawa kecil bersama, lalu berhenti sejenak di depan penjual balon.

Martin tak bergerak, hanya menatap dalam diam.
Namun kali ini, dadanya tidak sesak. Tidak ada gelombang yang menghantam.
Yang ada hanyalah rasa hangat---rasa syukur.

Seolah semesta mengerti, Andin tiba-tiba menoleh sekilas, dan tatapan mereka bertemu... hanya sepersekian detik, tetapi cukup untuk saling mengerti bahwa luka lama telah benar-benar sembuh.

Andin tersenyum kecil, mengangguk pelan.
Martin pun tersenyum, membalasnya dari kejauhan---bukan dengan rindu, tetapi dengan doa.

Kemudian Andin melangkah pergi bersama keluarganya, dan Martin kembali menoleh pada putrinya yang memamerkan coretan krayonnya dengan bangga.

"Papa, lihat... ini gambar kita bertiga!" seru gadis kecil itu riang.

Martin tertawa, mencium kening putrinya.
"Indah sekali... persis seperti hidup Papa sekarang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun