Air matanya jatuh, tetapi kali ini bukan karena kehilangan, melainkan karena menerima.
Beberapa bulan kemudian, hidup mempertemukannya dengan Nayla---seorang relawan sosial yang ceria dan rendah hati. Awalnya hanya percakapan singkat saat acara bakti lingkungan di kampung, namun entah bagaimana, tawa Nayla yang ringan mulai mengisi ruang yang lama kosong dalam hati Martin.
Martin sempat takut. Ia takut cintanya pada Nayla adalah bentuk pelarian dari rindunya pada Andin. Tetapi waktu membuktikan, bahwa cinta tidak selalu datang untuk menggantikan---kadang cinta datang untuk menyembuhkan.
Suatu malam, mereka duduk bersama di taman kota. Angin berhembus lembut, membawa harum bunga kenanga. Nayla menatap Martin dengan mata jernih.
"Kenapa kamu terlihat seperti seseorang yang sudah lama menunggu matahari, tetapi baru sekarang bisa menikmatinya?" tanya Nayla sambil tersenyum.
Martin terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, "Karena dahulu aku terlalu sibuk menatap bayangan... sampai lupa bahwa cahaya juga bisa datang dari arah lain."
Nayla mengangguk, lalu menggenggam tangannya.
Martin membalas genggaman itu---penuh syukur, bukan rasa bersalah.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Martin menatap langit dan berkata dalam hati:
"Terima kasih, Andin... karena pernah mengajarkan apa artinya mencintai dalam diam. Kini, biarkan aku belajar mencintai dalam terang."
Dan sejak saat itu, rindu yang dahulu harus ditahan... berubah menjadi doa yang perlahan ikhlas dilepaskan.
Hari itu matahari bersinar lembut, seolah mengerti bahwa langit tak perlu terlalu terang ketika hati seseorang sudah cukup bercahaya.
Di pelataran masjid kecil yang dipenuhi bunga melati dan pita putih, Martin duduk bersila mengenakan beskap sederhana. Napasnya panjang dan tenang---seperti lautan yang dahulu bergelora, kini perlahan teduh.