Martin mengangkat wajah, menatap mata itu yang masih sama, teduh dan hangat.
"Bagaimana kabarmu, Andin?"
Andin tersenyum kecil, ada getar di sudut bibirnya.
"Baik... Alhamdulillah baik."
Keheningan kembali merambat di antara mereka, tetapi kali ini bukan keheningan yang menyesakkan, melainkan keheningan yang penuh pengertian.
Tak ada pelukan, tak ada genggaman tangan. Hanya tatapan yang saling mendoakan dalam diam.
Martin menghela napas panjang, lalu berkata pelan, "Terima kasih... karena masih tetap menepati sumpah itu."
Andin menunduk, menahan air mata yang nyaris pecah. "Begitu juga kamu... terima kasih sudah menjaga kita dari luka yang lebih dalam."
Lalu ia melangkah pergi, menggenggam tangan anak kecil itu.
Martin berdiri mematung, menatap punggung mereka yang perlahan menjauh di antara keramaian bandara, seperti bayangan masa lalu yang akhirnya pamit dengan tenang.
Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, dada Martin terasa ringan.
Bukan karena rindunya hilang, tetapi karena ia tahu---cinta sejati itu tidak pernah pergi. Ia hanya belajar berdiri dalam diam, sambil mendoakan dari jauh.
Sepekan setelah pertemuan tak sengaja di bandara itu, hidup Martin seperti kembali tenang---namun bukan tenang yang hampa seperti dahulu. Ada semacam kedamaian yang perlahan tumbuh, seperti matahari pagi yang menyusup malu-malu di sela jendela.
Setiap kali bayangan Andin melintas, Martin tidak lagi menahannya dengan gusar. Ia justru mengizinkannya lewat dengan tenang, seperti angin yang datang sekadar menyapa.
Malam itu, ia duduk di beranda rumahnya, memandang langit yang bertabur bintang. Di hadapannya terbuka buku harian yang dahulu selalu ia isi dengan kalimat-kalimat rindu yang mengaduk dada.
Kini, di halaman baru, ia menulis pelan:
"Aku mencintainya bukan untuk memilikinya. Aku mencintainya agar ia bahagia, meski bukan bersamaku. Dan mungkin, kini saatnya aku pun belajar bahagia tanpa harus menunggu masa lalu kembali."