Di hadapannya, penghulu mengucapkan ijab dengan suara berat namun penuh haru. Lalu suara Martin menyusul, mantap, bulat, dan tenang:
"Saya terima nikahnya Nayla binti Abdullah dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
Suara para saksi bersahutan, "Sah."
Seketika itu juga, riuh tepuk tangan dan ucapan selamat mengalir. Tetapi di dalam dada Martin, yang terdengar hanya suara lirih dari masa lalunya sendiri, seolah datang dari kejauhan:
"Jaga hatimu baik-baik, Martin..."
Suara yang dahulu ia kenal begitu dalam---Andin.
Martin tersenyum. Bukan senyum yang getir, tetapi senyum yang penuh damai. Ia menoleh pada Nayla yang kini duduk di sampingnya, mata perempuan itu berkilat bahagia. Tanpa sadar, Martin menggenggam tangannya erat.
Malam harinya, ketika pesta telah usai dan semua tamu telah pulang, Martin duduk sendirian di ruang kerjanya. Ia membuka laci, mengeluarkan sebuah buku lusuh---buku harian yang selama ini menjadi tempat ia menuliskan segala rindunya pada Andin.
Satu per satu halaman ia baca, lalu ia bisikkan pelan,
"Terima kasih, Andin... karena pernah menjadi bagian paling tulus dalam hidupku."
Kemudian ia menutup buku itu perlahan, mengikatnya dengan pita, dan menaruhnya kembali di dalam laci---kali ini bukan untuk disembunyikan, tetapi untuk diistirahatkan.
Lalu ia berdiri, melangkah ke kamar, di mana Nayla tengah tertidur pulas dengan wajah teduh. Martin merebah di sampingnya, memeluknya dengan hati yang akhirnya utuh.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun...
Martin benar-benar tidak merindukan siapa pun, selain masa depan yang kini ada di pelukannya.
Taman kota sore itu penuh tawa anak-anak. Matahari condong ke barat, membentuk bayangan panjang yang menari di atas rumput hijau.